Senin, 01 Februari 2010

KOMALA BUMI PERTIGA DAN PERANANANYA DALAM PEMERINTAHAN KESULTANAN BIMA TAHUN 1747-1751

BAB I
PENDAHULUAN


A.Latar Belakang
Bangsa yang arif dan bijaksana, akan selalu mempelajari dan memahami sejarah bangsanya untuk dijadikan cermin kehidupan hari ini dan hari yang akan datang. Sejarah selalu memperingatkan kepada kita betapa besarnya bahaya yang akan menimpa kehidupan manusia, apabila manusia melupakan dan menghianati sejarah. Bangsa yang hidup di masa silam mengalami kejayaan dan mencapai puncak peradaban yang tinggi, karena mereka selalu berguru kepada sejarah.Sebaliknya mereka akan mengalami pengunduran bahkan kehancuran apabila mereka melupakan dan menghianati sejarah.

Sebagai langkah awal untuk menyelamatkan kehidupan bangsa pada umumnya khususnya kehidupan masyarakat Bima, sebagai akibat dari sifat yang melupakan dan menghianati sejarah, maka penulis ingin menelusuri jejak sejarah Bima melalui karya ilmiah ini. Sebagai darma bakti diri terhadap bangsa dan negara, semoga kelak mendapat perhatian yang serius dari kalangan masyarakat ilmiah dan generasi muda sebagai pelanjut pembangunan daerah.

Demikian pula halnya pembangunan nasional akan berjalan dengan mulus dan berhasil dengan baik, apabila setiap daerah ikut berperan aktif dalam pembangunan nasional. Salah satu syarat untuk melakukan pembangunan adalah mereka harus mengetahui latar belakang sejarah kehidupan masyarakat di daerah itu sendiri.

Putra – putri Indonesia yang berpredikat orang Bima harus mematuhi secara jujur bahwa sampai saat ini masih banyak anggota masyarakat terutama generasi mudanya yang belum mengetahui secara utuh mengenai sejarah Bima, akibatnya mereka sering kehilangan pedoman dalam melakukan hidup dan kehidupan.

Yang paling menyedihkan ialah masih adanya orang yang beranggapan bahwa mempelajari sejarah pada hakekatnya sama saja dengan usaha menghidupkan feodalisme dan absolutisme. Mereka menyangka para Sultan, pemimpin dan para peranan dalam pemerintah kesultanan adalah merupakan tokoh-tokoh feodalistis yang memerintah secara absolut hanya duduk berpangku tangan di Singgasana Kesultanan, tanpa memperhatikan keadaan masyarakat di daerahnya.

Untuk menghilangkan akibat yang merugikan kepentingan masyarakat Bima pada khususnya dan kepentingan bangsa pada umumnya. Melalui skripsi ini Penulis mencoba menulis tentang peranan seorang wanita bernama Koma Bumi Pertiga dalam pemerintahan kesultanan Bima di tahun 1747 – 1751. Peranan beliau dalam pemerintahan kesultanan Bima pada khususnya dan pada bangsa Indonesia pada umumnya, di samping itu penonjolan seorang wanita dalam ikut berperan dan memimpin kesultanan adalah merupakan sesuatu yang cukup menarik untuk diangkat ke permukaan yang merupakan dapat dihitung dengan jari dinamika ketenaran, keberanian dan kepahlawanan seorang wanita di jaman dahulu menentang penjajahan demi memikirkan kemerdekaan dan nasib generasi anak cucu yang akan datang. Namun di dalam skripsi ini akan menelusuri sebagai kepatuhan di mana seorang wanita mampu menangani Kesultanan walau banyak tantangan, hambatan yang datang terutama mengusir penjajah Belanda di wilayah persada Dana Mbojo.

B.Rumusan Masalah
Melalui skripsi ini penulis mencoba menulis tentang peranan seorang wanita bernama Komala Bumi Pertiga dalam pemerintahan Kesultanan Bima pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Di samping itu penonjolan seorang wanita dalam ikut berperan dan memimpin kesultanan adalah merupakan sesuatu yang cukup menarik untuk diangkat kepermukaan yang merupakan dapat dihitung dengan jari dinamika ketenaran, keberanian dan kepahlawanan seorang wanita mampu menangani kesultanan walau banyak tantangan, hambatan yang datang terutama mengusir penjajah Belanda di wilayah persada dana mbojo.

Untuk lebih menelusuri jejak beliau tersebut, disini penulis akan mengetengahkan beberapa permasalahan sebagai acuan umum di dalam membahas skripsi ini. Adapun permasalahan yang dimaksud sebagai berikut :

1.Siapakah Komala Bumi Pertiga itu ?
2.Apa sajakah usaha yang dilakukan oleh Komala Bumi Pertiga dalam menjalankan roda kesultanan Bima ?
3.Sejauh manakah peranan Komala Bumi Pertiga dalam menangani roda kesultanan Bima tahun 1747-1751
4.Faktor-faktor apa sajakah yang menandai keberhasilan Komala Bumi Pertiga dalam menangani kesultanan Bima ?

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian adalah :
1.Untuk mengetahui peranan Komala Bumi Pertiga dalam Pemerintahan Kesultanan Bima tahun 1747 – 1751.
2.Upaya-upaya apa yang ditempuh oleh Komala Bumi Pertiga dalam menjalankan roda kesultanan Bima.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1.Manfaat Teoritis, yaitu dapat memberikan informasi mengenai kondisi peranan Komala Bumi Pertiga dalam Pemerintahan Kesultanan Bima tahun 1747 – 1751.
2.Manfaat Praktis, yaitu dapat memberikan kontribusi terhadap pihak yang terkait dalam memperbaiki kondisi daerah Bima di bawah jajahan Belanda pada masa pemerintahan Komala Bumi Pertiga.


BAB II
KERANGKA TEORI

A.Tinjauan Pustaka
1.Riwayat Hidup Komala Bumi Pertiga

Untuk mengetahui sejarah, baik peranan, perjuangan atau pergerekan wanita Bima sangat sulit atau sukar untuk mendapatkan bahan – bahan. Kancah perjuangan wanita di zaman yang silam, bahan – bahan yang lengkap guna menuliskan keadaan yang sejelas-jelasnya mengenai kebesaran dan keagungan srikandi Bima dalam memegang pemerintahan dan memimpin peperangan di Bima, amat sulit didapat.

Untung juga bangsa – bangsa barat banyak yang menulis sejarah Pulau Sumbawa umumnya dan terkhusus terhadap daerah kesultanan Bima dan dinamika situasi dan kondisinya, demikian pula dengan peranan, perjuangan dan pergerakan wanita Bima.

Para ahli sejarah Indonesia bekerja dengan giat guna mendapatkan bahan yang diperoleh dari bahasa Asing, terutama bangsa Belanda sendiri, walaupun bahan-bahan itu bersifat benar, tetapi sedikitnya mengandung serba sedikit jiwa orang yang menulisnya.

Mengenai sejarah peranan, perjuangan dan pergerakan wanita Bima sangat sedikit kita baca dalam buku – buku sejarah, mungkin karena yang menulis sejarah terdiri dari kaum laki – laki, umumnya yang ditulis juga tentang peranan, perjuangan dan pergerakan laki-laki. Pada kesempatan yang sederhana ini pun penulis sebagai seorang wanita mencoba menguraikan dan memaparkan dengan teliti tentang peranan srikandi Bima Komala Bumi Pertiga dalam Pemerintahan Kesultanan Bima pada tahun 1747 – 1751 ketika itu.

Pada menurut cerita-cerita orang tua – tua dahulu puteri-puteri orang Bima turut serta sepanjang hidupnya bergaul dalam lapangan politik dan pertahanan serta Agama.

Penulis merasa senang sekali dan sungguh salut, hormat dan khidmat kepada masyarakat Bima umumnya dan para mahasiswa Bima di tiap daerah tempat di mana mereka mencari pengetahuan tinggi, bila memiliki waktu senggang seperti mengangkat karya ilmiah seperti ini diharapkan dapat mengungkap dan menggali tentang sejarah peranan, perjuangan dan pergerakan tokoh-tokoh daerahnya yang ditimbulkan dalam masanya. Baik yang ditimbulkannya terjadi pada masa Naka, Ncuhi, Kerajaan maupun pada masa kesultanan, agar kelak di kemudian hari semoga mendapat perhatian dan pelajaran dari semua pihak yang ingin mengetahuinya terkhusus kepada warga Indonesia yang berdarah Bima.

Jika kita membaca atau membolak balik buku – buku sejarah, nampak wanita yang lampau seolah-olah wanita Bima tidak melakukan peranan dalam pergerakan sejarah sehingga tidak perlu menyebut nama-namanya dan peranannya yang dilakukannya sepanjang masa.

Bukan tidak ada kaum wanita yang dapat dikemukakan dalam lapangan sejarah, kaum ibu di zaman dahulu tidak berpangku tangan dan pasti kita ketemukan apabila kita turut bersama-sama menumpahkan perhatian kepada sejarah zaman yang lampau.

Penulis yakin bahwa kaum ibu di zaman yang lampau hidup penuh gairah dalam kancah perjuangan di segala bidang sesuai dengan skil dan situasi dan kondisi zamannya apabila dan semuanya memperjuangkan nasib Negara, kendatipun mereka tidak mendapat pendidikan tinggi. Wanita zaman dahulu tahu “tiap-tiap perjuangan akan memperoleh hasil yang gemilang apabila perjuangan itu dibantu oleh wanita”.

Apabila kita analisa betapa peranan, perjuangan dan pergerakan wanita Bima, terbayang bahwa dalam golongan wanita Bima yang cerdas dan cakap di berbagai bidang sanggup menjalankan tugas dalam fungsi pemerintahan dari bawah ke tingkat yang tinggi seperti halnya Komala Bumi Pertiga yang sanggup dalam memimpin kesultanan Bima selama kurang lebih lima tahun yakni dari tahun 1747 hingga 1751, selama ayahanda tercinta selaku Sultan mangkat, dan adik kandungnya yang laki sebagai putera mahkota ketika itu dalam usia yang masih relatif muda.

Di masa pemerintahan Kesultanan Bima, putrid-putri Bangsawan boleh dikatakan hamper-hampir tidak disinggung - singgung oleh guru-guru sejarah, sehingga umumnya, siswa-siswa menengah sekarang hanya mengenal dari zaman yang lampau tentang kerajaan, Kesultanan Bima melalui nama Sang Bima, Indra Zamrud, Abdul Kadir, Muhammad Alauddin, Muhammad Salahuddin dengan segala kegagahannya dan kebesarannya.

Sesudah wafatnya Sultan Alauddin Muhammad Syah karena anak lakinya masih sangat muda, dan tampuk kepemimpinan sementara dipegang oleh putri Sultan bernama Komala Bumi Pertiga, yang diperbantukan oleh Ruma Bicara Abdul Ali selaku wali atau Perdana Menteri yang juga memegang jabatan sebagai Jeneli/Camat RasanaE.

Komala Bumi Pertiga adalah seorang negarawan yang bijaksana dan mempunyai perangai yang cerdas lagi bijaksana. Rante Patola Sitti Raiya demikian sebutan akrabnya adalah seorang putrid yang tak ada bandingannya disertai sikap tindakan tegas dan tangkas, menunjukkan beliau mempunyai, memiliki sifat kepahlawanan dan kesatriaan.

Sultan Alauddin Muhammad Syah mengharapkan putrinya kawin dengan pahlawan yang memiliki watak kepemimpinan yang cerdas yang mampu menangkal dan menangkis kolonial Belanda yang menghancurkan martabat bangsa dan disamping tangkas serta cinta kepada tanah air dan agama.

2.Masa Sebelum Menjadi Bumi Pertiga
Komala adalah anak perempuan dari turunan seorang ayah yang bernama Sultan Alauddin Muhammad Syah dengan seorang Ibu bernama Karaeng Tana Sanga Mamuncaragi Ayah Komala berketurunan atau berdarah Bima asli sedangkan Ibu Komala berdarah Makassar (Gowa).

Di bawah ini penulis akan menguraikan sekilas tentang silsilah keturunan Komala Bumi Pertiga, lebih dikenal dengan sebutan Rante Patola Sitti Raiya Binti Sultan Alauddin Muhammad Syah Bin Sultan Hasanuddin Bin Sultan Jamaluddin Bin Sultan Nuruddin Abubakar Ali Syah Bin Sultan Abdul Khair Sirajuddin Bin Sultan Abdul Kahir, lebih dikenal (La Ka’i) yang merupakan Sultan Bima yang ternama dan pertama.

Dalam menguraikan awal kedatangan dan munculnya Komala Bumi Persada Dana Mbojo, yaitu diawali dengan kisah tentang hubungan Gowa dengan Bima yang merupakan suatu pertemuan yang dirahmati oleh yang Maha Kuasa sehingga ayah dan ibu Komala melaksanakan pernikahan yang pada akhirnya membuahkan karunia seorang srikandi ideal yang menjadi pejuang dan pahlawan kenamaan Bima Komala Bumi Pertiga atau lebih dikenal Rante Patola Sitti Raiya. Sehingga dalam dunia kesejarahan daerah Bima dikenal sebagai pejuang dan pahlawan kemerdekaan yang sangat berperan, berjasa dan berpengaruh dalam menjalankan roda kesultanan Bima.

Pada masa pemerintahan Kakeknya Sultan Hasanuddin, beliau selalu mengadakan hugungan dengan Sultan Gowa di Makassar, baik secara kekeluargaan sesama Sultan maupun silaturahmi keagamaan, lebih – lebih usahanya dalam peremajaan dan penyempurnaan dalam bidang pemerintahan, Sultan Hasanuddin berusaha meningkatkan kegatan dakwah. Untuk meningkatkan kesetia kawanan dengan orang – orang Makassar Sultan terus memelihara hubungan kekeluargaan yang sudah lama terjalin dengan baik. Dengan demikian Kakek Komala, Sultan Hasanuddin pun berhasil mendatangkan politisi dan para pejuang Makassar.

Pada tanggal 14 Syawal tahun 1129 H (± 20 September 1717 M), Karaeng Parang Bone dan Karaeng Bonto Mate’ne datang ke Bima. Sebaliknya Sultan pun selalu mengadakan kunjungan silaturahmi dan kekeluargaan di Makassar. Pada tanggal 11 Rabiul Awal tahun 1139 H (± 6 November 1726) beliau mengadakan kunjungan ke Makassar. Untuk kelanggengan dan keintiman hubungan dengan Makassar, pada tanggal 19 Sya’ban 1140 H (± 5 April 1727 M) Sultan Hasanuddin mengawinkan putra Mahkota Bima Alauddin Muhammad Syah dengan seorang putrid Sultan Gowa Siradjuddin, yang bernama Karaeng Tana Saga Mamuncaragi.

Dalam uraiannya Abdullah Ahmad, BA menjelaskan bahwa Komala Bumi Pertiga dan Sultan Abdul Kadim adalah anak dari Sultan Alauddin dengan Karaeng Tana Sanga Mamuncaragi. Dalam masa pemerintahan Sultan Alauddin Muhammad Syah yang ketika itu resmi menjadi Sultan Bima pada tanggal 2 Dzulhijjah 1145 H (± 9 Mei 1731 M). Komala sebagai anak pertama ketika masih remaja nampak kepeduliannya menelusuri serta meniti karier pengalaman bersama Ayahanda tercinta, yang juga masih sangat berpengaruh dan menonjol kepemimpinan dalam tahta kesultanan di Bima. Dalam waktu yang tidak terlalu lama yakni sebelas tahun dalam mendampingi, mempelajari pola kepemimpinan yang dijalankan oleh ayahnya dalam mengayomi kesultanan Bima, maka ayahanda tercinta dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, Ilahi Rabbi pada tahun 1742, dan setelah wafat dimakamkanlah di desa Daha Kecamatan Hu’u Kabupaten Dompu sekarang.


3.Masa Sesudah Menjadi Bumi Pertiga
Sesudah Komala menjadi Bumi Pertiga, situasi Indonesia ketika itu semakin tidak menentu, para Sultan atau raja di Indonesia tidak mampu lagi menjalin kerjasama yang berarti terutama dalam menghadapi Belanda.

Sebaliknya, di pihak Belanda sendiri sedang menghadapi hal yang serupa. Mereka mengalami kesulitan dalam masalah keuangan. Biaya yang dikeluarkan dalam menghadapi bangsa Indonesia cukup merepotkan Belanda.

Kondisi ketika itu Hilir menguraikan bahwa “Kekuatan ekonomi Belanda semakin bertambah, karena di kalangan pegawai Kompeni Belanda sendiri merajalela korupsi. Walaupun dari segi politik perjuangan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia pada abad ke 18 kurang berarti, namun dari segi kepentingan ekonomi, perjuangan bangsa Indonesia amat merugikan Belanda. Perjuangan Mas dan Senopati di Mataram, huru-hura yang dilakukan oleh Cina dan perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Pieter Erbeveld di Batavia, perjuangan Gusti dan Kiyai Tapa di Banten amat merugikan Belanda dalam bidang ekonomi. Demikian gambaran umum bangsa Indonesia pada masa tersebut.

Pada saat wafatnya Sultan Alauddin Muhammad Syah, Abdul Kadim sebagai Jene Teke (putar mahkota) baru berusia 13 tahun. Kekuasaan untuk sementara dipegang oleh Komala Bumi Pertiga, yang diperbantukan oleh Ruma Bicara Abdul Ali, ketika merangkap beberapa jabatan penting di dalam pemerintahan, di samping selaku Ruma Bicara dan Perdana Menteri juga sebagai Jeneli RasanaE.

Di saat kecamuknya politik pemerintahan yang sedang dihadapi oleh Kesultanan Bima yang baru ditinggalkan oleh seorang Sultan. Maka pada kesempatan yang baik tersebut muncul dan tampilnya sosok seorang srikandi ideal Komala Bumi Pertiga dengan kekuatan dan kemampuan kecerdasan dan ketangkasannya beliau mendapat kesempatan baik dari kaum sara istana di samping Ruma Bicara Abdul Ali dengan senang hati menerimanya agar jabatan dan tugas yang diembannya menjadi ringan, juga agar pengalaman dan pengetahuan yang dipelajari, didapatkan dan diwarisi oleh ayahanda tercinta Sultan Alauddin Muhammad Syah, segera direalisasikan sesuai dengan kemampuan dan ketangkasannya dalam mengikis derasnya arus politik monopoli dagang yang dilancarkan oleh Belanda.

Sebagaimana halnya Komala Bumi Pertiga yang sudah lama merasakan bagaimana pahit getirnya pengalaman seorang sultan di dalam memimpin dan mengayomi masyarakat seperti halnya yang telah dirasakan dan dialami oleh ayahanda tercinta Sultan Alauddin Muhammad Syah sewaktu bersama-sama dengan beliau di masa hidupnya.

Dari pengalaman suka duka, pahit getirnya pelajaran dan pengetahuan yang diperoleh langsung dari Ayah tercinta tersebut, maka disitulah Komala Bumi Pertiga menampakkan sifat-sifat kebumi pertigaannya, kesatriaannya dihadapan masyarakatnya.

Sangat perlu adanya uraian bahwa yang dimaksud dengan ‘Bumi Pertiga’ adalah suatu gelar yang diperuntukkan bagi Komala dimana beliau dapat mendidik dan membimbing putra putri istana, khususnya adiknya sendiri.

Hilir mengatakan bahwa sebelum menikah dengan Sultan Gowa Abdul Kudus Komala memegang jabatan sebagai “Bumi Pertiga” yaitu yang bertugas untuk mendidik dan membimbing putra putrid Sultan dalam hal ini saudara-saudaranya sendiri.

Komala Bumi Pertiga adalah seorang politikus, sebagaimana halnya dengan watak, sifat serta perangainya yang mirip dengan keadaan Kesultanan Bima dalam kepemimpinan sedang dijabat oleh kakeknya Sultan Hasanuddin ayah Sultan Alauddin Muhammad Syah.

Dengan direstuinya Komala untuk mendampingi keadaan Ruma Bicara Abdul Ali selaku Perdana Menteri dan Jeneli RasanaE, dalam menumbuhkan, mempertahankan, dan menangkis deras dan kencangnya politik monopoli dagang Belanda ketika itu. Dari situlah Komala resmi menjadi Bumi Pertiga dalam tahta kesultanan Bima, yang merupakan gelar kenamaan srikandi Bima yang mampun dan berperan dalam menjalankan roda kesultanan Bima disamping mampu mendidik dan membimbing putra putrid Sultan dalam hal ini adiknya sendiri.

Setelah menjadi Bumi Pertiga tersebut pertama kali Komala memperingatkan Sultan Abdul Kadim disamping selaku mendidik dan membimbing adiknya dengan Ruma Bicara Abdul Ali agar dengan tegas jangan dengan mudah dibujuk dan dirayu oleh kompeni Belanda terhadap daerah Manggarai. I’tikad baik dari Komala Bumi Pertiga mencampuri urusan dalam negeri Bima sebagai hasutan Belanda terhadap Abdul Kadim yang ingin menyelamatkan daerah Manggarai yang dijadikan bahan fitnahan oleh Belanda untuk mengadu domba Komala Bumi Pertiga dengan adiknya Abdul Kadim. Belanda menuduh Komala Bumi Pertiga mencampuri urusan dalam negeri Bima. Sudah jelas tindakan Belanda tidak dapat diterima oleh Komala Bumi Pertiga, yang memang terkenal anti Belanda. Pada saat itu hubungan Makassar sedang tegang Sultan Abdul Kuddus beserta permaisurinya Komala Bumi Pertiga tidak mau tunduk terhadap politik monopoli dagang Belanda. Untuk menghalangi niat Belanda yang ingin merampas Manggarai dari kekuasaan Sultan Bima, Komala Bumi Pertiga mengeluarkan pernyataan bahwa daerah Manggarai adalah milik kesultanan Gowa (Makassar).

Daerah Manggarai pada saat pernikahan ayahnya Sultan Alauddin Muhammad Syah dengan Ibunya Karaeng Tana Sanga Mamuncaragi sudah dijadikan mahar pernikahan. Oleh sebab itu menurut hukum Islam daerah Manggarai pada hakekatnya milik Kesultanan Gowa. Pernyataan Komala Bumi Pertiga tersebut, hanya merupakan siasat politik, agar Belanda tidak memaksa Sultan Abdul Kadim untuk memberikan daerah Manggarai. Dengan perkataan lain agar Makassar dapat membantu Bima dalam menghadapi Belanda dalam masalah Manggarai.

Mendengar pernyataan yang dikeluarkan oleh Komala Bumi Pertiga pada tahun 1762 Belanda menyerang Manggarai dengan alasan Manggarai bukan milik Makassar. Belanda memang licik menghalalkan segala cara untuk menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa akibat ulah Belanda. Sultan Abdul Kadim menjadi bingung, beliau heran mengapa Belanda mencampuri urusan dalam negeri Bima dan kenapa menyerang Manggarai, padahal antara Bima dan Makassar tidak ada masalah. Tujuan Belanda adalah untuk mengadu domba antara dua bersaudara. Melihat sikap Belanda, maka Komala Bumi Pertiga bersama putranya Sultan Amas Madina segera melakukan tindakan balasan dengan memboikot hubungan dagang Belanda dengan daerah lain. Para pejuang Makassar menyerang kapal – kapal dagang Belanda. Belanda berusaha menangkap Komala Bumi Pertiga bersama Sultan Amas Madina. Pada tanggal 2 Agustus 1766, Komala Bumi Pertiga bersama Sultan Amas Madina terpaksa hijrah dari Makassar menuju Bima. Selama berada di Bima Komala Bumi Pertiga memperingatkan saudaranya Sultan Kadim agar jangan mematuhi keinginan Belanda yang suka mengadu domba saudara kita.

Kehadiran Komala Bumi Pertiga bersama putranya Sultan Amas Madina amat membahayakan kepentingan politik monopoli dagang Belanda. Oleh sebab itu pada bulan April 1767, Belanda menangkap Komala Bumi Pertiga bersama putranya dengan dalih menjalin hubungan kerjasama dengan Inggris. Kemudian keduanya dibawa ke Batavia dan dibuang ke Sailon Negara Srilanka sekarang. Pada tahun 1795 kedua pejuang itu meninggal di pengasingan yang jauh dari wilayah Nusantara, mereka ikhlas mengorbankan segalanya demi nusa dan bangsa yang tercinta ini.

4.Kedudukannya Sebagai Bumi Pertiga Di dalam Menangani

Kesultanan Bima
Dalam sejarah Kerajaan Aceh Darussalam kita dapati banyak sekali tokoh-tokoh wanita yang memegang peranan penting dalam pemerintahannya dalam lembaga-lembaga negara. Sesuai dengan ketentuan Kanum Mangkuta Alam yang mengatur kedudukan wanita, di samping melihat skill dan situasi kondisi yang dihadapi oleh daerah kerajaan tersebut.

Dalam keadaan yang sama kondisi kesultanan Bima pun sebagaimana yang dihadapi kerajaan Aceh Darussalam, Bima pun demikian bisa dan dapat seorang wanita menjalankan dan mengatur roda pemerintahan kesultanan sesuai dengan peranan dan kemampuannya. Namun yang perlu diperhatikan dalam undang-undang hukum Syara’ pemerintah Kesultanan Bima, yang merupakan pengecualian khusus bahwa wanita tidak dapat menjadi seorang pemimpin dalam agama, yakni untuk menjadi Imam dalam sembahyang berjamaah, sehingga di Bima di dalam menjalankan roda pemerintahan sepenuhnya tidak dapat dilaksanakan oleh seorang wanita, disitulah letak pengecualiannya, sehingga Ruma Bicara Abdul Ali selaku Perdana Menteri yang juga menjabat sebagai Jeneli RasanaE adalah merupakan pengganti kedudukan Sultan yang bisa menduduki posisinya sebagai Imam dan pemimpin Agama dalam melakukan sembahyang berjamaah misalnya, selain dari pada itu posisi memegang peranan sepenuhnya dapat dijalankan oleh Komala Bumi Pertiga sesuai aspirasi dan metode pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh dan didapatkan dari Ayahanda tercinta Sultan Alauddin Muhammad Syah, ketika masih hidup bersama-sama dalam mengayomi pemerintahan Kesultanan Bima di saat-saat memperoleh amanah di Kesultanan ketika itu.

Jadi kedudukan Komala Bumi Pertiga di Kesultanan Bima pada saat roda pemerintahan dipegang oleh wali Abdul Ali, menurut Hilir “Komala Bumi Pertiga sebenarnya bukan Sultanah Bima, beliau adalah putri dari Sultan Alauddin Muhammad Syah dengan Karaeng Tana Sanga Mamuncaragi. Setelah dewasa Komala Bumi Pertiga menikah dengan Sultan Abdul Kuddus. Sebelum menikah Komala memegang jabatan ‘Bumi Pertiga’ yang bertugas untuk mendidik dan membimbing putra putrid Sultan dalam hal ini saudara-saudaranya sendiri.

B.Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir dimaksudkan untuk menggambarkan alur pemikiran dari seorang calon peneliti. Sehingga kelak dalam penelitian tidak mendapat rintangan atau tantangan dan lagi pula dapat memperoleh data sesuai dengan permasalahan yang dibahas.

Jika diteliti salah satu rumusan masalah yang telah ditetapkan yaitu, untuk mengetahui peranan Komala Bumi Pertiga dalam Pemerintahan Kesultanan Bima 1747 – 1751. Adapun yang ingin dicapai dalam penelitian yaitu bagaimana Komala Bumi Pertiga menjalankan roda pemerintahannya, dan upaya-upaya yang ditempuh untuk memperbaiki kondisi daerah Bima di bawah jajahan Belanda.

C.Hipotesis
1.Komala Sari Pertiga adalah seorang wanita yang berdarah Bima dan Sulawesi Selatan, yakni dari hasil perkawinan dari putra mahkota kesultanan Bima bernama Sultan Alauddin Muhammad Syah dengan seorang Ibu (permaisuri) dari puteri Sultan Gowa Sirajuddin, yang bernama Karaeng Tana Sanga Mamuncaragi.
2.Usaha adalah dengan semangat kewanitaannya beliau antara Sultan Amas Madina dan menentramkan konflik politik antara Sultan Amas Madina dari Gowa dengan Sultan Abdul Kadim dari Bima tentang daerah Manggarai yang diperebutkan dari hasil mahar Bapak dan Ibu mereka dari hasil ketajaman hasutan politik Devide At Impera (pecah belah) Belanda, yang kemudian Komala Bumi Pertiga dapat menahan dan membentengi taring-taring politik Devide At Impera Belanda yang sedang menyebarkan kuku-kukunya di Bima.
3.Selama adiknya masih berusia muda beliau berhasil menyelamatkan Bima dari ancaman Belanda, sehingga untuk melawan Belanda pun beliau menjalin hubungan dagang dengan Inggris.
4.Faktor keberhasilannya antara lain :
1.Dapat menggagalkan usaha Belanda yang ingin menguasai daerah Manggarai.
2.Dapat menggagalkan Belanda yang ingin menjalankan monopoli dagang di Bima.


Kerangka berpikir dimaksudkan untuk menggambarkan alur pemikiran dari seorang calon peneliti. Sehingga kelak dalam penelitian tidak mendapat rintangan atau tantangan dan lagi pula dapat memperoleh data sesuai dengan permasalahan yang dibahas.

Jika diteliti salah satu rumusan masalah yang telah ditetapkan yaitu, untuk mengetahui peranan Komala Bumi Pertiga dalam Pemerintahan Kesultanan Bima 1747 – 1751. Adapun yang ingin dicapai dalam penelitian yaitu bagaimana Komala Bumi Pertiga menjalankan roda pemerintahannya, dan upaya-upaya yang ditempuh untuk memperbaiki kondisi daerah Bima di bawah jajahan Belanda.



BAB III
METODE PENELITIAN

Perlu diketahui bahwa mengungkap suatu fakta dimulai dari pengumpulan data-data yang layak dipercaya. Jadi dalam hal ini, digunakan jenis penelitian, antara lain :
a.Library research (penelitian perpustakaan), yaitu pengumpulan data dengan melalui pembacaan buku-buku dan referensi lainnya yang berhubungan dengan pembahasan tersebut.
b.Field research (penelitian lapangan), yaitu pengumpulan data dengan jalan turun langsung (direct) ke obyek penelitian, dalam hal ini latar belakang pemerintahan Kesultanan Bima dan masyarakatnya.
Dalam pengaplikasian penelitian itu, dilaksanakan beberapa tehnik :
1).Observasi, yaitu dengan mengadakan peninjauan seecara langsung ke daerah yang dijadikan obyek penelitian.
2).Interview, yaitu cara pengumpulan data dengan jawaban mewancarai pihak- pihak tertentu yang dianggap mampu memberikan informasi yang orisinil terhadap obyek bahasan.
3).Dokumentasi, yaitu dengan mengumpulkan dan mencatat data, berupa dokumen – dokumen resmi yang menyangkut peranan Komala Bumi Pertiga dalam pemerintahan Kesultanan Bima tahun 1747 – 1751.

Di samping kedua jenis penelitian tersebut di atas juga digunakan metode pendekatan sejara antara lain :
1).Heuristik, yaitu dengan mencatat dan mengumpulkan sebanyak mungkin sumber tanpa memperhatikan valid tidaknya sumber tersebut.
2).Kritik, yaitu dengan mengadakan penyaringan terhadap sumber yang telah diperoleh.
3).Interpretasi/penafsiran, yaitu dengan memberikan penafsiran dan penjelasan terhadap data atau sumber yang telah disaring dan memenuhi persyaratan.
4).Rekonstruksi, yaitu dengan membangun kembali data - data yang sudah diberi penjelasan sehingga menjadi suatu cerita yang otentik.


BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.Kondisi Obyektif Kesultanan Bima Pada Masa Komala Bumi Pertiga

Untuk lebih terarahnya pemahaman, dengan mencoba melihat kondisi obyektif kesultanan Bima pada masa Komala Bumi Pertiga memegang peranan penting dalam menjalankan dan mengendalikan roda pemerintahan Kesultanan Bima. Terlebih dahulu melihat bahwa Kesultanan Bima tidak akan mungkin tumbuh dan berkembang jika seandainya pengaruh Islam tidak masuk dan berkembang di sana. Karena pada hakekatnya kesultanan tidak dapat dipisahkan laksana roh dan jasad seperti halnya kita tidak dapat memisahkan antara lahirnya kerajaan dengan datangnya pengaruh Hindu di Bima.

Untuk itu, kondisi obyektif kesultanan Bima pada masa tampuk dan roda pemerintahan Komala Bumi Pertiga 1747 – 1751 kita juga dapat mengetahui bagaimana proses tumbuh dan berkembangnya Islam itu sendiri, di mana naik turunnya keadaan Islam ketika itu adalah merupakan faktor penentu kebijakan terhadap pasang naik dan pasang surutnya kondisi pemerintahan.

Kalau dilihat dari sejarah, bahwa masuknya Islam di daerah Bima tidak terlalu banyak mendapat kesulitan dibandingkan dengan masuknya agama Hindu. Sumber yang menyangkut masuknya Islam relatif lebih banyak kalau dibandingkan dengan sumber mengenai masalah masuknya pengaruh Hindu.

Sumber yang umum dijelaskan bahwa menjelang akhir abad ke 15 dan awal abad ke 16 agama Islam masuk di Pulau Sumbawa dari arah Barat (Jawa). Menurut Babad Lombok bahwa :

Setelah Sunan Prapen meratakan agama Islam di Pulau Lombok, beliau meneruskan perjalanan ke pulau Sumbawa dalam tugas yang sama. Sejak itu kerajaan – kerajaan kecil yang menganut agama Ciwa – Budha menganut Islam. Penyebaran Islam di pulau Sumbawa berjalan dengan lancar, bahkan menurut cerita rakyat Sunan Prapen juga yang mengantarkan agama Islam sampai ke kerajaan Dompu di Sumbawa Tengah dan Bima di Sumbawa Timur.

Di samping itu, dalam sumber yang lain pun dijelaskan bahwa :
Sungguh besar jasa Sunann Giri semasa hidupnya, karena beliaulah yang mengirimkan utusan (mission secree) ke luar Jawa. Mereka terdiri dari Pelajar Saudagar, Nelayan. Pada waktu itu Giri adalah menjadi sumber Ilmu Keagamaan tersohor di seluruh tanah Jawa dan sekelilingnya. Dari segala penjuru baik dari kalangan bawah banyak yang pergi ke Giri untuk berguru kepada Sunan Giri. Beliaulah kabarnya yang menciptakan Gending Asmaradana dan Pucung. Daerah penyiarannya sampai ke Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Madura.

Cahaya Islam yang masih redup dan remang-remang yang berawal dari celupan api syiar dari tanah Jawa yatu di bawah oleh Sunan Giri, namun baik Samudra di arah utara pun Islam muncul dengan percikan sinar kesejukannya yakni dari Sulawesi Selatan yang di bawah oleh para pedagang, yang datang membawa barang dagangan berupa kalian dan keris.

Menurut keterangan dari BO yang ditulis pada 18 hari bulan Rabiul Akhir 1270
H, bahwa :
Hijratun Nabi Saw, Sanad Seribu dua puluh delapan, sebelas hari bulan jumadilawal telah datang di labuhan Sape Saudara Daeng Mangali di Bugis Sape dengan orang Luwu, Tallo dan Bone untuk berdagang. Kemudian pada malam hari datang menghadap Rumah Bumi Jara yang memegang Sape untuk menyampaikan sebuah cilo dan kain Bugis dan sepucuk surat sepupu Ruma Bumi Jara di Bone bernama Daeng Malaba. Adapun Saudaranya itu mengabarkan bahwa orang-orang itu cilo dan kain dari keris serta membawa agama Islam.

Dari beberapa uraian di atas jelaslah bahwa gambaran tentang eksistensi kesultanan merupakan suatu hal kewajaran untuk dijadikan tolok ukur suatu perbandingan terhadap pasang naik dan pasang surutnya keberadaan di suatu pemerintahan kesultanan Bima di masa Komala Bumi Pertiga memegang peranan penting dalam tampuk dan roda kesultanan Bima ketika itu.

1.Keadaan Politik Pemerintahan
Untuk mengetahui peranan Bima dalam percaturan politik, dapat kita awali dengan melihat dari perkembangan wilayah kekuasaan yang dimulai dari masa kesultanan hingga kepada wilayah kekuasaan kesultanan di mana Komala Bumi Pertiga memegang peranan penting di dalam pemerintahan kesultanan Bima. Menurut BO yang merupakan sumber data otentik sebagai pegangan para sejarawan Bima untuk mengungkapkan tentang sejarah di persada Dana Mbojo.

Adapun wilayah kekuasaan Bima tersebut menjadi :
1).Masa Pemerintahan Manggampo Donggodan Tureli Manggampo Mawaa Bilamana terdiri atas : sebelah utara laut Flores, sebelah timur sampai kepulauan Solor, Timur, Sumba dan Sawu. Sebelah Selatan lautan Indonesia, dan di sebelah barat berbatas dengan Kerajaan Bolo.
2).Masa Pemerintah Raja Mawas Ndapa Tureli Nggampo La Mbila Makapiri Solor abad XV yakni : disebelah utara berbatasan dengan Laut Flores (sampai kepulauan Tengah dan Sailus), di sebelah Timur sampai kepulauan Solor, Timur, Sumba dan Sawu, di sebelah barat berbatasan wilayah kerajaan Dompu.
3).Masa Pemerintahan wilayah kekuasaan di bawah kepemimpinan dan peranan Komala Bumi Pertiga.

Sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores, di sebelah timur sampai pada wilayah Pota, lalu ditarik garis lurus ke tenggara, menuju sungai Nanga Romo di pesisir Selatan. Di sebelah barat dibatasi oleh wilayah Kerajaan Dompu, sebelah selatan berbatasan dengan Selat Sumba dan lautan Indonesia.

Berdasarkan irama perkembangan wilayah kekuasaan Bima sejak masa pemerintahan Manggampo Donggo, Raja Mawaa Ndapa Tureli Nggampo sampai kepada masa pemerintahan kesultanan Bima di saat tampuk dan toda kesultanan dipegang oleh Komala Bumi Pertiga dan Ruma Bicara Abdul Ali selaku wali Sultan (Perdana Menteri). Maka dalam bidang politik dan pemerintahan kesultanan Bima mengalami pasang naik dan pasang surut. Pengaruh dari dalam dan dari luar amat menentukan perkembangan Bima dalam bidang politik dan pemerintahan.

Menurut Abdullah Ahmad, adanya hal-hal yang menyebabkan adanya perubahan dalam batas wilayah daerah Bima adalah sebagai berikut :

(1) Adanya perluasan karena penaklukan daerah lain oleh kerajaan Bima dengan ditaklukkannya kerajaan Bolo sehingga batas wilayah berpindah kea rah barat yakni berbatasan dengan wilayah kerajaan Dompu, sedangkan kea rah Timur sampai ke Solor, Sawu dan sebagainya.
(2) Karena adanya tekanan – tekanan dari kompeni Belanda yang takut akan adanya kekuasaaan dan sebagainya sebagaimana keberadaan kerajaan Makassar, sehingga terciptanya saingan baru dalam kancah perniagaan, sehingga dengan dalih mengadakan perjanjian dan cara penekanan lainnya, wilayah Bima dipersempit seperti hilangnya keuasaan di wilayah timur, yang meskipun ada pergantian dengan masuknya Kerajaan Sanggar dalam wilayah kekuasaan Bima.
(3) Hal-hal ini dapat kita lihat dalam transkripsi BO yang kami lampirkan serta adanya hubungan kerjasama yang baik dengan kerajaan/kesultanan di Indonesia bagian Timur seperti Kesultanan Ternate, Kesultanan Bacon, Bolang Mangondow, serta utara dan ke barat sampai ke Tanah Lombok.
(4) Hubungan-hubungan dengan Kerajaan lain ini menyebabkan Kerajaan Bima menjadi salah satu Kerajaan yang terpandang kedua di wilayah Timur selain Makassar sehingga timbul musuh baru bagi Kompeni Belanda.

Dari uraian yang telah dikemukakan di atas jelaslah bahwa politik pemerintahan serta batas wilayah kekuasaan Bima selalu mengalami pasang naik dan pasang surut yang tiada lain oleh adanya ekspedisi kekuasaan wilayah kerajaan/kesultanan yang dilakukan oleh sultan-sultan terdahulu, sehingga keadaan kondisi Kerajaan dan Kesultanan pada masa pemerintahan berkomposisi dan berstruktur seperti apa yang ada sampai saat sekarang ini.

Pemerintahan Kesultanan Bima di masa tampuk kepemimpinan dipegang dan kuasakan kerja sama dengan Komala Bumi Pertiga struktur pemerintahan dalam kesultanan dibagi dalam dua tingkat pemerintahan, yakni pemerintahan Pusat dan pemerintahan Daerah. Pemerintahan tingkat Pusat segala aktifitasnya berada dalam lingkungan Istana, sedangkan pemerintah Daerah berada dalam lingkungan daerah, di tempat di mana para Jeneli berkedudukan selaku kepala pemerintahan di daerah Kejenelian.

Di dalam organisasi pemerintahan Kesultanan Bima terdiri dari dua unsur pokok pelaksana pemerintahan dan berada langsung di bawah Sultan atau Wali Sultan. Kedua unsur pokok tersebut adalah Hadat dan Hukum.
1.Hadat adalah unsur pelaksana pemerintahan yang dipimpin oleh seorang Tureli.
2.Hukum adalah unsure pelaksana pengurusan agama Islam yang dipimpin oleh seorang Qadi’ atau Iman.

Pelaksana fungsi Hadat dalam hal tertentu, selalu mengikuti sertakan unsur masyarakat umum melalui perwakilan-perwakilan yang bernama Syara Tua. Karena itu Syara Tua lebih tampak sebagai perangkat pelengkap organisasi pelaksana tugas lembaga Hadat. Lembaga perwakilan itu hanya tampil dalam kaitan proses perumusan kebijaksanaan mengenai kepentingan masyarakat luas dan bukan sebagai perangkat pemerintah atau Hukum Islam.

Berdasarkan struktur organisasi pemerintahan yang diuraikan di atas bahwa posisi satuan organisasi dapat dilihat sebagai satu perangkat yang utuh.

Kesultanan Bima dikepalai oleh seorang Sultan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam menjalankan roda pemerintahan, Sultan (wali Sultan) tidak melaksanakan sendiri, akan tetapi sepenuhnya diserahkan kepada seorang Tureli. Tureli menjadi kepala Hadat dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari.

Dalam naskah BO. (catatan lama Istana Bima) telah disebutkan bahwa setiap Tureli adalah sebagai Wazir, dengan pengertian orang yang memahami masalah negara dan pemerintahan. Tureli tersebut akan dibantu oleh enam Tureli, sebagaimana dapat dilihat di bawah ini :
(1) Tureli Parado yang bertugas menyelenggarakan urusan Kehakiman,
(2) Tureli Woha dan
(3) Tureli Belo yang mempunyai tugas pokok melaksanakan urusan pemerintahan dan keuangan,
(4) Tureli Sakuru yang melaksanakan urusan Kesejahteraan Rakyat,
(5) Tureli Donggo dan
(6) Tureli Bolo mempunyai tugas urusan administrasi. Dalam hal melaksanakan tugasnya keenam Tureli itu dinamakan juga Majelis Tureli.

Selain ketujuh anggota Majelis Tureli sebagai sebuah Dewan Pelaksana pemerintahan, terdapat dua unsur pembantu langsung bagi pelaksanaan tugas Sultan, yakni Bumi Peranta dan Bumi Renda. Bumi Peranta sebagai kepala urusan dalam Istana membawahi enam bidang kegiatan yang terdiri dari :
(1)Bidang Pengawalan dalam Lingkungan Istana, berkaitan dengan pengawalan pelaksanaan tugas Pejabat di dalam lingkungan Istana yang dikepalai oleh seorang Bumi Nggeko.
(2)Bidang Penyiapan atau pengerahan tenaga kerja dan kelompok “dari” dalam Istana, yang dipimpin secara kolektif oleh Jena Luma Mone, Jena Luma Bolo dan Bata Sari.
(3)Bidang Pengawalan Istana yang selalu disebut dengan Mone, dikepalai oleh Ompu To’i.
(4)Bidang Mbagi Na’e, yakni bidang kegiatan yang mengurus dan mengatur pelaksanaan dan pembagian tugas para pesuruh Pejabat Istana, yang dikepalai oleh Batanggampo.
(5)Bidang Silu Genda, yakni bidang yang mengurusi kesenian dan perlengkapan Istana, dan dikepalai oleh Bumi Genda dan Silu,
(6)Bidang Bumi Ncandi yakni bidang kegiatan mengurusi produksi perlengkapan Istana yang dikepalai oleh Bumi Jero.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa pemerintahan sebagai salah satu dasar sistem sosial yang dibuat untuk manusia. Begitu Islam tidak menghendaki kekacauan dan tidak membiarkan satu jamaah tanpa pemerintahan. Oleh karena itu pemerintahan yang dijalankan oleh Islam terdiri dari beberapa prinsip yaitu “tanggung jawab pemimpin, membina persatuan umat dan menghormati hak-hak asasinya”.

Jadi dalam menjalankan kekuasaannya, pemerintah adalah amanat Allah dan kaum muslimin, yang harus diserahkan penanganannya kepada orang – orang yang takut kepada Allah, bersifat adil dan benar-benar beriman. Dan tidak seorangpun berhak menggunakannya dengan cara-cara yang diragukan atau demi kepentingan individu atau golongan. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surah An-Nisa : 58, sebagai berikut :
Terjemahannya :

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan menyuruh kamu, apabila menetapkan hukum di antara kamu, supaya kamu menetapkan dengan adil.

Ayat tersebut dapat difahami, bahwa kita kaum muslimi mempunyai tanggung jawab untuk menyampaikan dan memutuskan hukum dengan bijaksana, salah satu di antaranya adalah seorang hakim.

Pada masa pemerintahan Komala Bumi Pertiga dan Wali Sultan Ruma Bicara Abdul Ali kehadiran Islam semakin memperkuat dan memperkaya kedudukan adapt Bima yang sudah menjadi pola dasar dalam pandangan hidup sejak masa Ncuhi. Pengaruh dan idiologi Hindu dalam lembaga Hadat Kerajaan yang lemah semakin hilang. Demokrasi yang sudah tumbuh dan berkembang sejak lama Ncuhi semakin subur. Karena struktur pemerintahan berdasarkan falsafah adat dan Islam yang merupakan cukup tepat dan sesuai diamalkan dalam kehidupan pemerintahan Dou Mbojo. Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Semangat persatuan dan kesatuan yang sudah dirintis oleh para Ncuhi sejak berlangsungnya musyawarah di doro Babuju diakhir period Ncuhi, tumbuh semakin semarak karena memang Islam adalah agama yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan. Islam tidak membedakan bangsawan dan rakyat jelata semuanya di hadapan Allah SWT adalah sama yang membedakan hanyalah ketaqwaan dan amal perbuatannya.

Dalam hal ini Rasulullah sendiri telah diperintahkan untuk berlaku adil dengan tidak memilih sebagian yang lainnya, maka bukanlah watak beliau untuk bersikap fanatik adalah seseorang, tetapi hubungan dengan manusia adalah sama yaitu didasarkan pada keadilan dan kejujuran semata.

Selanjutnya Dr. Abd. Muin Salim menjelaskan dengan panjang lebar tentang prinsip struktur pemerintahan yang berprinsip keadilan yaitu :
…. Bahwa kekuasaan politik yang dimiliki oleh pemerintah adalah amanat Allah dan juga amanat dari rakyat yang telah memberikannya melalui baiat. Karena itu asas ini menghendaki agar pemerintah melaksanakan tugas-tugasnya dengan memenuhi hak-hak yang diatur dan dilindungi oleh hukum Allah termasuk di dalamnya amanat yang diembankan oleh agama dan juga dibebankan oleh masyarakat dan perorangan sehingga tercapai masyarakat yang sejahtera dan sentosa.

Sungguh Al Qur’an dan Sunnah sudah cukup jelas memberikan petunjuk – petunjuk guna menegakkan keadilan hukum, keadilan sosial dan keadilan ekonomi. Persamaan kedudukan setiap manusia dihadapan hukum tanpa terkecuali.

Di atas tentang anjuran Allah kepada Rasulullah untuk menegakkan asas keadilan adalah, bahwa Rasulullah penolong siapa yang melawan kebenaran. Dalam agamaku (Rasul), tidak ada keistimewaan – keistimewaan apapun untuk seseorang, siapapun dia dan bagaimanapun keadaannya. Demikian pula sanak kerabatku tidak mempunyai hak-hak yang lebih daripada hak-hak yang dimiliki oleh orang – orang yang jauh dariku. Tidak pula orang-orang yang penting yang memiliki keistimewaan – keistimewaan yang kurang penting. Orang-orang yang mulia dan hina dihadapanku adalah sama; kebenaran adalah hak bagi semuanya, halal adalah halal bagi semuanya, yang diwajibkan adalah wajib atas semuanya, sehingga aku sendiripun tidak terkecuali dari kekuasaan undang-undang ilahi. Abu A’la al – Maududi, Al-Khilafah wa al-Mulk, diterjemahkan oleh Muhammad al Baqir dengan judul “Khilafah dan Kerajaan”, (Cet. I, Bandung : Mizan, 1988), ha. 365. Pelaksanaan keadilan yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah tersebut, perlu dicontohkan oleh kaum muslimin generasi berikutnya untuk menegakkan keadilan yang bisa diterima oleh semua pihak. Misalnya, menurut ajaran Islam, tidak boleh ada pengaruh apapun atas para hakim dalam kedudukannya dan mereka sendiripun tidak boleh terpengaruh dengan yang bukan kebenaran dan keadilan. A. Hasjmy, Dimana Letaknya Negara Islam. (Cet. I, Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1984, h. 178.

Kegiatan musyawarah dan semangat Karawi Kaboju yang menjiwai kehidupan mereka di masa lalu itu semakin kuat, karena Islam adalah agama yang menunjung tinggi musyawarah, yang merupakan keharusan dalam Islam. Islam mengharuskan pengikutnya untuk beramal secara ikhlas tanpa pamrih. Sikap hidup yang diwarnai oleh adat yang telah dipercaya oleh ajaran Islam mewujudkan sikap dan kepribadian yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan sebagian telah diuraikan panjang lebar sebelumnya.
Sistem politik dan pemerintahan di masa Komala Bumi Pertiga, selalu berpedoman kepada adat yang sudah menyatu dengan Islam. Sultan/Wali Sultan bersama seluruh anggota lembaga hadat adalah pimpinan yang harus menjunjung tinggi kepentingan rakyat. Mereka harus mengamalkan falsafah “Toho Ra Nahu Sura Dou Labo Dana” dalam kedudukan sehari-hari Komala Bumi Pertiga sampai ke aparat yang paling rendah hidup penuh kesadaran sesuai dengan falsafah “Toho Mpara Weki Sura Dou Marinpa”.
Kehadiran Islam telah melahirkan sikap dan jiwa militan yang progresif dan tidak kenal menyerah. Keharmonisan adat dengan Islam menyebabkan pengaruh idiologi Hindu semakin tidak kelihatan dalam kehidupan masyarakat. Rakyat memiliki harga diri, mereka berani melakukan kritikan kepada para penguasa dengan cara yang sopan sesuai dengan anjuran adapt dan falsafah daerah.

Kritikan yang disalurkan dengan bahasa sastra seperti bernilai satire dan sindiran melalui patu kalero, rindo dan semacamnya. Bagaimanapun wujudnya kritikan itu, namun pada hakekatnya rakyat tetap berpedoman kepada falsafah Raja adil Raja disembah dan Raja lalim Raja disanggah.

Jiwa yang dipancari oleh Nur Islam, melahirkan sikap yang hak dan menghancurkan yang batil adalah merupakan modal dasar yang amat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan kesultanan Bima pada masa pemerintahan Komala Bumi Pertiga.

2.Keadaan Sosial Budaya Masyarakat
Keadaan social budaya masyarakat Bima dalam Kesultanan selalu diwarnai oleh sosial budaya yang berdasarkan adat dan falsafah pada masa Ncuhi, falsafah yang berpedoman kepada adat yang menunjung tinggi musyawarah dan Karawi Kaboju. Sultan/Wali Sultan adalah bukanlah titisan Dewa yang dipuja dan disembah, tetapi merupakan pimpinan yang diangkat oleh wakil rakyat yang duduk dalam lembaga Hadat berdasarkan musyawarah. Sultan/Wali Sultan harus mengabdi kepada rakyat sesuai dengan falsafah “Toho Ra Nahu Sura Dou Labo Dana” di segi lain “Sultan Adil Sultan disembah, Sultan Lalim Sultan disanggah”.

Pada masa pemerintahan Komala Bumi Pertiga dan Ruma Bicara Abdul Ali, Bima mulai ramai dikunjungi oleh kaum pendatang terutama dari Sulawesi Selatan. Setelah perjanjian Bongaya, orang-orang Sulawesi Selatan semakin bertambah banyak datang ke Bima. Para politisi, kaum militer dan pejuang Makassar datang ke Bima untuk meneruskan perjuangan melawan Belanda. Dalam waktu yang bersamaan pula orang-orang melayu yang ikut berjuang dalam melawan Belanda, terutama dalam bidang agama. Hal ini mempengaruhi social budaya masyarakat Bima. Sosial budaya Sulawesi Selatan dan Melayu yang diwarnai oleh ajaran Islam. Penduduk Bima semakin berkembang dan bervariasi sesuai dengan perkembangan zamannya.

Secara kronologis penduduk Bima dapat dibagi sebagai berikut :
a.Dou Donggo (Orang Donggo)
Dou Donggo adalah penduduk Bima yang tidak mau menerima pengaruh dari luar terutama pada masa awal mula kesultanan. Karena latar belakang politik dan agama mereka pindah ke daerah pegunungan. Oleh sebab itu mereka disebut Dou Donggo, Dou = Orang, sedangkan Donggo = Gunung. Dalam perkembangan selanjutnya mereka dianggap sebagai penduduk asli Bima. Berdasarkan daerah pemukimannya Dou Donggo dapat dibagi dua kelompok :

(1).Dou Donggo Ele (Orang Donggo Timur)
Mereka mendiami dataran tinggi di sekitar kaki gunung Lambitu di wilayah Bima Tengah (sekarang wilayah Kecamatan Wawo Tengah). Orang Donggo Ele terdiri dari orang Kuta, Sambori, Tarlawi, Kalodu, Kadi, Kaboro. Mereka mempunyai adapt istiadat dan bahasa yang berbeda-beda dengan Dou Mbojo (Orang Bima).

Mata pencaharian mereka pada umumnya adalah berburu dan mengadakan perladangan berpindah-pindah, namun perkembangan demi perkembangan dengan adanya kaum pendatang, pengusaha dan pedagang dari Sulawesi Selatan dan daerah lainnya, mereka pun ikut berdagang sebagai pencaharian mereka.

Pada mulanya (masa kerajaan) mereka enggan menerimaa ajaran Islam, tetapi setelah datangnya masa kesultanan dan perkembangan kehidupan yang dialami mereka pun semakin meningkat, maka mereka menganut ajaran Islam walaupun pengaruh kepercayaan lama masih ada.

(2).Dou Donggo Ipa (Orang Donggo Seberang)
Dou Donggo Ipa mendiami daerah pengunungan di sebelah barat teluk Bima, sekarang termasuk wilayah Kecamatan Donggo. Pada mulanya Dou Donggo Ipa mempunyai adat istiadat, bahasa yang berbeda dengan Dou Mbojo. Tetapi pada masa sekarang adapt – istiadat mereka sudah baur dengan adat istiadat Dou Mbojo (Orang Bima).

Mata pencaharian mereka adalah suka berburu, berladang berpindah-pindah (nomaden), selain itu mereka juga telah mengenal berdagang dan sebagai pengusaha mengikuti jejak pendatang dari Makassar dan Bugis.

b.Dou Mbojo (Orang Bima)
Dou Mbojo berasal dari penduduk Bima yang melakukan pembauran (berasimilasi) dengan orang Sulawesi Selatan pada awal Kesultanan.

Sejak berdirinya kesultanan Bima pada tahun 1633 hubungan Bima dengan Makassar dan Sulawesi Selatan lainnya banyak yang datang dan bertempat tinggal di Bima. Jumlah mereka semakin banyak, setelah perjanjian Bongaya pada tahun 1667, para pejuang Makassar dan Bugis akhirnya mengadakan pembauran dengan orang Bima yang sudah menganut agama Islam. Masyarakat yang lahir dari pembauran dengan orang Bima yang sudah menganut agama Islam, masyarakat yang lahir dari pembauran itu disebut Dou dengan Dou Mbojo.

Adat istiadat serta bahasa Dou Mbojo, merupakan perpaduan adapt istiadat, dari bahasa Bima dengan Makassar, Bugis dan Sulawesi Selatan lainnya. Dou Mbojo merupakan penganut agama Islam yang taat, sebab itu adapt istiadatnya diwarnai oleh ajaran Islam.

c.Kaum Pendatang
Dou Malaju (Orang Melayu) dan Dou Ara (Orang Arab) yakni orang yang dianggap kaum pendatang di Bima. Adapun latar belakang kehadiran mereka “Dou Malaju dan Dou Ara” hamper sama dengan latar belakang kedatangan orang Makassar, Bugis. Mereka datang ke Bima pada awal masa kesultanan dalam rangka penyiaran Islam dan berdagang.

Pada masa tampuk dan roda pemerintahan kesultanan dipegang oleh Ruma Bicara atau Perdana Menteri Abdul Ali bersama Komala Bumi Pertiga mereka banyak yang menjadi ulama, muballigh dan bahkan menduduki jabatan dalam lembaga Syara’ Hukum yang merupakan bahagian dari Majelis Hadat. Kedudukan mereka sebagai ulama dan muballigh, menyebabkan Komala Bumi Pertiga dan masyarakat menghormatinya. Pada awal kesultanan pun peranan ulama Melayu dan Arab amat besar dalam penyebaran Islam di Bima.

Sampai sekarang Dou Malaju dan Dou Ara mempunyai perkembangan khusus yang terletak di pesisir utara kota Bima yang terkenal dengan nama Kampo Malayu dan Kampo Bente.

3.Keadaan Agama
Mengacu dari uraian terdahulu, bahwa kesultanan Bima merupakan proses pertumbuhan dan perkembangan dari pemerintahan yang berasaskan Islam pada awal mulanya dibangun dan dikokohkan oleh Sultan Bima yang pertama La Ka’I lebih dikenal Abdul Kadir yang selanjutnya diikuti pula oleh Sultan-Sultan berikutnya, seperti halnya di masa peranan memegang, mengemudi dan menjalankan roda kesultanan tersebut, masing – masing memiliki corak dan model serta gaya tersendiri di dalam memimpin kesultanan tersebut.

Sebagaimana halnya Bima di masa Komala Bumi Pertiga memegang peranan penting dalam tampuk pemerintahan, maka keadaan agama tidak jauh berbeda keadaan agama Islam sebelumnya yang pernah mengakar pada masa kepemimpinan Sultan sebelumnya. Namun agama Islam yang tumbuh dan berkembang di Bima ketika itu adalah merupakan agama menyeluruh yang dianut oleh masyarakat Dou Mbojo.

Di masa pemerintahan Komala Bumi Pertiga, agama mayoritas masyarakat adalah merupakan campuran darah dan turunan asli kesultanan Bima dengan kesultanan Gowa.

B.Peranan Komala Bumi Pertiga Dalam Pemerintahan Kesultanan Bima
1.Peranannya Dalam Menjalankan Roda Kesultanan Bima
Waktu terus berlalu, zaman terus berganti, iklim politik terus berkembang dan berubah sesuai dengan perkembangan dan perjalanan roda zaman. Tetapi Belanda tetap berusaha untuk menguasai dan menjajah kesultanan Bima. Oleh sebab itu hubungan Bima dengan Belanda tidak pernah bersahabat. Seirama dengan perjalanan sejarahnya wanita Bima tidak pernah absen dalam menghadapi penjajah Belanda, baik wanita desa maupun wanita Istana sudah silih berganti turun ke medan laga, ada yang meraih kemenangan ada pula yang kalah dan menderita dan tidak sedikit yang mati disiksa di daerah pembuangan, sebagaimana halnya dengan Komala Bumi Pertiga, yang menurut album sejarah Bima pada akhir peranan dan perjuangannya dalam melawan Belanda, beliau dibuang ke negeri Sailon sekarang dikenal Srilangka dan wafat di sana.

Di dalam album sejarah bangsa sudah tertulis dengan tinta emas nama-nama Srikandi Indonesia yang disegani dan dikagumi oleh kawan maupun lawan. Semua musuh pasti akan gentar disertai kekaguman kalau menyaksikan keberanian Srikandi Indonesia kelahiran serambi Mekkah yang bernama Tjut Nya Dien semua kawan dan lawan pasti mengakui keluhuran dan kemuliaan cita-cita tokoh emansipasi wanita R.A. Kartini dan Dewi Sartika. Demi mengembalikan harkat dan martabat kaum wanita dan bangsa umumnya, pendekar kaum ibu berjuang dengan gagah perkasa tanpa mengindahkan resiko yang menimpa.

Walaupun peranan wanita amat mulia dan luhur serta amat menentukan bagi kehidupan bangsa, namun masih banyak diantara kita terutama generasi muda yang belum mengetahui secara utuh mengenai peranan wanita di masa lalu, terutama peranan wanita Bima. Generasi muda masih banyak yang belum mengetahui bahwa kaum wanita Bima pada masa silam telah berperan secara aktif di atas pentas sejarah bangsanya. Mereka tidak mengetahui bahwa kaum wanita Bima pada masa lalu telah mampu mengukir sejarah yang indah bagi daerahnya bahkan bagi bangsanya.

Oleh Hilir menjelaskan bahwa pada abad 17 M tampil beberapa pejuang wanita Bima yang dengan gigih melawan penjajah Belanda, seperti antara lain Karaeng Bonto Je’ne, Komala Bumi Pertiga. Pada awal abad ke 20 M tampil pula srikandi yang dengan gagah berani maju ke medan laga dengan persenjataan Lira melawan Belanda. Seperti antara lain, Dua Dau dan Dua Masu.

Bagaimana ujud perjuangan dan peranan wanita Bima, terutama peranan Komala Bumi Pertiga di masa lalu adalah amat ditentukan oleh pandangan hidup yang sesuai dengan sistem politik dan pemerintahan, agama dan sosial budaya pada zamannya. Wujud peranan wanita Bima baik dalam melawan penjajah maupun dalam mempertahankan kemerdekaan, mungkin akan berbeda dengan cara yang dilakukan oleh kaum wanita di daerah lain, namun tujuan yang akan dicapai adalah sama. Seluruh wanita Indonesia ingin membela kemerdekaan hak dan harga diri demi terwujudnya negara Indonesia merdeka yang berdaulat.

Pada masa roda kesultanan Bima dikemudi dan dijalankan oleh Komala Bumi Pertiga dan didampingi oleh wali Sultan Ruma Bicara Abdul Ali, Komala cukup memberikan hak dan peluang kepada masyarakat (rakyat) untuk menyalurkan aspirasi terhadap perkembangan demi perkembangan yang terjadi di dalam sama-sama menghadapi kondisi Belanda yang ingin menjalankan politik monopoli di samping mengadu domba antara pemerintahan kesultanan Bima dengan Makassar tentang daerah Manggarai yang sudah dijadikan mahar dalam perkawinan antara Sultan Alauddin Muhammad Syah dengan Karaeng Tana Sanga Mamuncaragi. Dengan menelusuri jejal perjuangan dan peranan Komala Bumi Pertiga dalam pemerintahan, baik di saat didampingi oleh wali Sultan Ruma Bicara Abdul Ali maupun di masa adiknya Abd. Kadim menginjak usia cukup dewasa, mengambil kembali tampuk pemerintahan, peranan beliau cukup nampak terlihat dan akan diingat selalu oleh zaman yang merasakan dan menikmati daerah Bima yang sudah bebas dan merdeka ini. Kisah perjalanan hidup sampai wafatnya Komala Bumi Pertiga berperan dalam kancah politik pemerintahan kesultanan Bima, penulis akan mencoba menguraikan kilasan panjang lebar di bawah ini.

Sebagaimana diuraikan terdahulu bahwa Komala Bumi Pertiga adalah puteri dari Alauddin Muhammad Syah Sultan Bima ke IV dengan permaisurinya Karaeng Tana Sanga Mamuncaragi, puteri Sultan Makassar Sirajuddin. Komala Bumi Pertiga menikah dengan Sultan Makassar Abdul Kuddus yang memerintah tahun 1742 – 1753.

Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Kadim Sultan Bima ke VII adik dari Komala Bumi Pertiga yang sebelumnya menjadi Jeneli/Camat Sape. Belanda berusaha memaksa Sultan yang baru berusia 13 tahun agar mau menyerahkan daerah Manggarai. Mengetahui i’tikad tidak baik tersebut, Komala Bumi Pertiga memperingatkan Sultan Abdul Kadim bersama Ruma Bicara Abdul Ali tadi yang masih merangkap sebagai Wali Sultan (wakil Presiden), agar hati-hati terhadap Belanda. I’tikad baik dari Komala Bumi Pertiga yang ingin menyelamatkan daerah Manggarai dijadikan bahan fitnahan oleh Belanda untuk mengadu domba Komala Bumi Pertiga dengan adiknya Sultan Abdul Kadim. Belanda menuduh Komala Bumi Pertiga mencampuri urusan dalam negeri Bima. Sudah jelas tindakan Belanda tidak dapat diterima oleh Komala Bumi Pertiga, yang memang terkenal anti Belanda. Pada saat itu hubungan Makassar dengan Belanda sedang tegang Sultan Abdul Kudus beserta permaisurinya Komala Bumi Pertiga tidak mau tunduk terhadap politik monopoli dagang Belanda. Untuk menghalangi niat Belanda yang ingin merampas daerah Manggarai dari kekuasaan Sultan Bima, Komala Bumi Pertiga mengeluarkan pernyataan bahwa daerah Manggarai adalah milik Kesultanan Makassar.

Daerah Manggarai pada saat pernikahan ayahnya Sultan Alauddin Muhammad Syah dengan ibunya Karaeng Tana Sanga Mamancaragi sudah dijadikan mahar pernikahan. Oleh sebab itu menurut hukum Islam daerah Manggarai pada hakekatnya adalah milik Kesultanan Makassar. Pernayataan Komala Bumi Pertiga tersebut, hanya merupakan siasat politik, agar Belanda tidak memaksa Sultan Abdil Kadim untuk memberikan Manggarai. Dengan perkataan lain agar Makassar dapat membantu Bima dalam menghadapi Belanda dalam masalah Manggarai.

Mendengar pernyataan yang dikeluarkan oleh Komala Bumi Pertiga tersebut, menurut Hilir adalah sebagai berikut :

Pada tahun 1762 Belanda menyerang Manggarai dengan alasan Manggarai bukan milik Makassar. Belanda memang licik mengunakan segala cara untuk menghancurkan persatuan dan kesatuan Bangsa / akibat perbuatan Belanda, Sultan Abdul Kadim menjadi bingung. Beliau heran, kenapa Belanda mencampuri urusan dalam negeri dan kenapa menyerang Manggarai, padahal antara Bima dan Makassar tidak ada masalah. Tujuan Belanda adalah untuk mengadu domba antara dua bersaudara.

Melihat sikap Belanda diatas, Komala Bumi Pertiga bersama putranya Sultan Amas Madina melakukan tindakan balasan dengan memboikot politik monopoli dagang Belanda. Komala Bumi Pertiga berusaha memboikot hubungan dagang Belanda dengan daerah lain. Para pejuang Makassar menyerang kapal – kapal dagang Belanda. Belanda berusaha menangkap Komala Bumi Pertiga bersama Sultan Amas Madina. Pada tanggal 2 Agustus 1766, Hilir menambahkan bahwa Komala Bumi Pertiga dan putranya Sultan Amas Madina terpaksa hijrah dari Makassar ke Bima. Selama berada di Bima Komala Bumi Pertiga memperingatkan saudaranya Sultan Abdul Kadim agar jangan mematuhi isi kontrak panjang pada tanggal 9 Februari 1765.

Kehadiran Komala Bumi Pertiga bersama putranya Sultan Amas Madina amat membahayakan politik monopoli dagang Belanda. Oleh sebab itu pada bulan April 1767, Belanda menangkap Komala Bumi Pertiga bersama putranya dengan dalih menjalin hubungan dengan Inggris. Kemudian keduanya dibawa ke Batavia dahn dibuang ke Sailon ( Negeri Srilanka sekarang ).

Pada tahun 1795 kedua pejuang itu meninggal dipengasingan yang jauh dari wilayah Nusantara, mereka ikhlas mengorbankan segala – galanya demi “Dou Labo Dana”. Walaupun jenasahnya luluh dan batu nisannya sudah sirna ditelan zaman, namun semangat juangnya tetap hidup pada sesudahnya, semoga amal bakti diterima disisi Allah SWT. Insya’ Allah Amin.

2.Usahanya Dalam Bidang Agama.
Eksistensi Islam sungguh semakin memperkuat dan memperkaya kedudukan adat Bima yang sudah menjadi dasar dan pandangan sejak masa Ncuhi. Pengaruh dan Ideologi Hindu dalam lembaga semakin hari semakin lemah dan berkurang. Demokrasi yang berkembang sejak masa Ncuhi dengan mendapat angin segar karena Islam adalah agama yang menjunjung tinggi kebebasan dan hak asasi manusia.

Semangat persatuan dan kesatuan yang sudah dirintis oleh para Ncuhi sejak musyawarah tumbuh semakin semarak. Karena memang Islam adalah agama yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan. Islam tidak membedakan antara kaum bangsawan dan rakyat jelata semuanya sama tingkatan dihadapan Tuhan, yang membedakan diantara manusia adalah tingkat ketakwaan. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surah Al Hujurat ayat 13 yang artinya :

"Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu"

Ayat tersebut diatas memberikan gambaran bahwa Allah SWT. tidak membeda – bedakan hambanya kecuali hamba – hambanya yang benar – benar beriman kepadaNya.

Sejarah telah mencatat dan bercerita kalau dizaman pemerintahan Sultan Bima pertama Abdul Kahir, pancaran sinar Islam mulai mengakar, tumbuh dan berkembang ditanah persada Dana Mbojo. Dengan langkah awal munculnya Islam tersebut, langsung menerobos sum – sum pelosok daerah Kesultanan setempat.

Sebagai konsekuens logis dari keadaan tersebut maka La Ka’i hijrah ke Makassar yang disambut gembira oleh Raja Makassar dibawah bimbingan para Ulama Minang yaitu Datuk Ri Bandang dan Datuk Di Tiro untuk memperdalam ilmu agama dan Tassauf serta militer.

Setekah sekemnbalinya dari Sulawesi Selatan untuk mendapat ilmu agama dan Tassauf dari kedua gurunya tersebut Abdul Kahir berupaya sesuai pesan gurunya secara maksimal untuk meletakkan asas – asa yang kokoh pada Kesultanan Bima, terutama sekali dalam usaha penyiaran agama Islam, dalam hal ini Bapak M. Yusuf menambahkan : tiada lain demi mewujudkan rasa solidaritas sesama manusia. Kelihatan sekali ingin menerapkan pemerintahan Islam secara nomatif, tanpa memandang suku.

Dari uraian tersebut diatas jelaslah bahwa pertama kali munculnya Islam dipersada Dana Mbojo, langsung menerobos dan menerangi hati dan jiwa tokoh – tokoh Istana dan masyarakat umum, sehingga tidaklah heran kiranya pada masa kesultanan Bima oleh wali Sultan Ruma Bicara Abdul Ali9 selaku perdana menteri, peranan Komala Bumi Pertiga dalam bidang agama berjalan dengan baik. Dimana keadaan politik pemerintahan pada saat itudalam keadaan agak lemah, disebabkan oleh karena Jena Teke (Putra Mahkota) Abdul Kadim berusia masih sangat muda dan Belanda pun menccoba menginjakkan kakinya di Bima, namun yang menjadi harapan adalah keadaan agamalah yang merupakan bekal yang dapat membantu membentengi dan menanggulangi akidah dan kekuatan mental rohaniyah masyarakat.

Faktor penentu kebijakan yang menjadi tumpuan dan harapan masyarakat menghadapi kondisi penjajah Belanda tersebut tiada lain adalah semangat jihad yang telah berkobar dalam dada, dan diyakini bahwa Belanda adalah merupakan bangsa yang tidak disunat dan dicap sebagai orang kafir. Ini suatu pertanda perasaan berTuhan yang dimiliki oleh Dou Mbojo sangat tinggi, sesuai dengan falsafah Tohora Nahu Sura Dou Ma Rimpa, ini berarti menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia merupakan faktor utama dalam masyarakat Dou Mbojo untuk saling menghargai pendapat.

Dengan demikian, pengamalan dan realisasi keagamaan yang dimiliki oleh masyarakat dimasa itu adalah menjadi kenyataan. Komala Bumi Pertiga telah memilih masyarakat Islam yaitu masyarakat yang lahir dengan munculnya Islam, kemudian meraih kekuasaan politis terhadap nilai – nilai Islam.

Islam menganggap pemerintahan sebagai salah satu dasar sistem sosisal yang dibuat untuk manusia. Begitu juga Islam tidak menghendaki kekacauan dan tidak membiarkan satu jamaah tanpa pemerintahan. Oleh karena itu pemerintahan yang dijalankan oleh Islam terdiri dari beberapa prinsip yaitu “tanggung jawab pemimpin, membina persatuan umat dan menghormati hak – hak asasinya”

Dari uraian diatas dapat dipetik penjelasan bahwa didalam menjalankan kekuasaannya, pemerintah adalah amanat Allah, yang harus diserahkan dan diusahakan penanganannya kepada orang – orang yang takut kepada Allah, bersifat adil dan benar – benar beriman kepadaNya.

Setiap Sultan atau Raja didalam memimpin dan perannya didalam kesultanan sudah barang tentu ada usaha dan target yang diharapkan, demikian pula halnya kesultanan Bima dibawah peranan Komala Bumi Pertiga. Dalam hal ini menurut A. Gani, bahwa usaha Komala Bumi Pertiga dibidang agama adalah membantu Bimadalam usaha penyiaran agama diwilayah Nusa Tenggara Timur, beliau bersama suaminya Abdul Kudus mengirimkan para ulama dan pedagang Makassar ke daerah – daerah taklukan Bima.

Dari komitmen diatas jelaslah bahwa usaha Komala Bumi Pertiga dalam pemerintahan Kesultanan Bima khususnya dibidang agama cukup berhasil, dimana dalam kondisi yang cukup sulit dan kondisi yang tidak terlalu memungkinkan beliau masih sempat dan sanggup mengekspos (mengutus dan mengirim) para muballiqh untuk menyiarkan agama Islam ke daerah – daerah yang telah ditaklukan oleh Bima.

Suatu hal yang wajar dan logis kiranya bila masyarakat dapat menghormatidan perhatian yang besar terhadap jasa – jasa yang ditinggalkannya sesuai dengan pengalaman dan kemampuan sebagai seorang wanita, dan pantas pual mendapat gelar dimasa itu dengan sebutan Bumi Pertiga. Sehingga terlihat dengan jelas dari hasil nukilan sejarah kemajuan dan perkembangan Islam didaerah Bima baik dimasa peranan sebagai Bumi Pertiga lebih – lebih dengan adanya potret Islam di Kabupaten Bima hingga saat sekarang ini, ini semua tidak lain adalah jerih payah dan usahanya.

3.Faktor – Faktor Keberhasilan Komala Bumi Pertiga Dalam Menangani Kesultanan Bima.
Belum dikatakan berhasil seseorang apabila belum menghadapi masalah dan cobaan yang besar pada dirinya. Masyarakat manusia yang merasa haus sudah tentu membutuhkan air minum untuk diminum, yang lapar butuh makanan untuk dimakan, yang loyo butuh tenaga agar bergairah dalam menempuh dan menghadapi kegiatan dalam kehidupannya. Demikian pula halnya dengan setiap usaha pasti ada hasilnya, banyak atau sedikit tergantung sungguh dari besar kecilnya usaha yang dilakukannya.

Komala Bumi Pertiga selaku sosok srikandi ideal yang cukup berperan dalam dunia kesultanan Bima. Cukup berarti kiranya pemerintah kesultanan Bima ketika itu memberikan gelar kepadanya dengan ”Bumi Pertiga” disamping mendidik dan membimbing putra – putri Sultan, juga mampu menjalankan dan menanggulangi situasi dan kondisi kesultanan yang sedang huru – hara politik monopoli dagang Belanda. Demikian usaha yang diraihnya.

Kehidupan pemerintahan disuatu daerah tidak terlepas dari gagasan – gagasan kedaerahan dan bahkan kenegaraan yang hidup dalam masyarakat daerahnya, yaitu masyarakat manusia yang menjunjung tinggi harkat dan martabat serta hak asasi manusia. Dalam masalah – masalah hendaknya difahami, bahwa pada hakekatnya manusia itu adalah pengemban dan pelaksana ide yang tumbuh dan berkembang di daerah pemerintahan kesultanan tersebut. Seperti halnya dalam kehidupan perjuangan, pengalaman dan peranan Komala Bumi Peritga, sikap hidup, pola tingkah laku dan tindakan – tindakannya tidak dapat dilepaskan dari usaha serta ide yang menjiwai sikap hidup, pola tingkah laku dan tindakan – tindakannya tadi.

Dari uraian tersebut diatas dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa, keberhasilan Komala Bumi Pertiga dalam menangani dan menjalankan roda kesultanan Bima, menurut H. Abd. Muthalib adalah sebagai berikut :

(1) Dimana Abdul Kadim sebagai Jena Teke (Putra Mahkota) yang berhak menyandang, menaiki dan menduduki tahta kesultanan masih sangat muda, disamping untuk sementara waktu menduduki atau menjabat sebagai Jeneli / Camat Sape.
(2) Ruma Bicara Abdul Ali selaku sebagai Sultan terlalu banyak menjabat, merangkap jabatan, disamping sebagai wali Sultan dan Perdana Menteri(Penasehat Sultan), juga bertugas sebagai Jeneli RasanaE, sehingga dalam menjalankan roda kesultanan sukar baginya menjalankan dengan baik.
(3) Komala Bumi Pertiga, adalah turunan Sultan (anak kandumng Sultan), beliau juga memiliki watak dan perangai kesatria, kecerdasan yang juga banyak mengunyak asam garam dari ayahandanya Sultan Alauddin Muhammad Syah, beliau juga memiliki watak politikus sebagaimana halnya dengan kakek beliau Sultan Hasanuddin.
(4) Adanya kecintaan masyarakat Dana Mbojo disisi lain, namun suatu ketentuan yang ketat yang merupakan sudah menjadi ketetapan hukum Syara’ sebelumnya bahwa seorang wanita tidak dapat bertindak sebagai Imam didalam melakukan sembahyang berjamaah. Disinilah letak posisi pengecualian pada diri Komala Bumi Pertiga, namun bukan suatu halangan dan rintangan, terhadap ketentuan hukum Syara’ tersebut untuk dapat memegang peranan dalam pemerintahan kesultanan Bima

Dengan melihat hasil uraian tersebut bahwa Komala Bumi Pertiga memiliki kedudukan dan posisi yang dalam mencelupkan suatu karya dan pengalaman dalam pemerintahan kesultanan Bima, namun satu – satunya merupakan pengecualian yang bukan menjadi halangan guna memegang peranan adalah wanita tidak dapat memimpin sebagai Imam dalam sembahyang berjamaah.

Disisi lain yang merupakan tidak kurang pentingnya, bahwa keberhasilan yang telah dicapai oleh Komala Bumi Pertiga selama memegang peranan daolam tahta kesultanan Bima adalah sebagai berikut :


(a)Dapat menggagalkan usaha Belanda yang ingin menguasai Manggarai.
(b)Dapat menggagalkan Belanda yang ingin menjalankan monopoli dagang di tanah Bima.



BAB V
PENUTUP

A.KESIMPULAN
Dari Bab I hingga Bab IV, sampailah saatnya beranjak pada Bab V yakni Bab Kesimpulan.
Adapun yang dapat disimpulkan dari awal hingga akhir dari uraian dan penjelasan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1.Komala Bumi Pertiga, seorang wanita berdarah Bima dan Makassar, yakni anak dari Sultan Bima Alauddin Muhammad Syah dengan permaisurinya Karaeng Tana Sanga Mamuncaragi, putri Raja Gowa Sirajuddin.
2.Usaha – usaha yang dilakukannya antara lain :
(a)Dalam bidang agama, beliau mengutus dan mengirim muballiqh untuk menyiarkan agama Islam ditiap – tiap daerah taklukan Bima.
(b)Dalam bidang kepemerintahan, disamping dapat menggagalkan Balanda yang ingin menguasai Manggarai, juga menggagalkan Belanda yang ingin menjalankan monopoli dagang di Bima.
3.Selama adiknya masih berusia muda, beliau berhasil menyelamatkan Bima dariancaman Belanda.
4.Penyandangan gelar ”Bumi Pertiga” adalah merupakan diperuntukkan kepadanya, guna dapat mendidik dan membimbing putra putrinya dalam hal ini saudaranya sendiri.

B.SARAN – SARAN
1.Kepada sejarawan dan generasi muda pelanjut perjuangan masa depan, penulis sarankan agar meneruskan penulisan sejarah daerah yang telah dirintis oleh penulis – penulis terdahulu. Karena usaha semacam itu sangat besar manfaatnya, terutama bagi generasi muda pelanjut perjuangan karena dengan memahami dan mengamalkan nilai – nilai sejarah masa lampau, sekarang dapat berbuat yang lebih baik.

2.Kepada tokoh masyarakat di daerah tingkat II Bima, yang telah mencoba mendokumentasikan peristiwa – peristiwa masa lampau daerah Bima, penulis sarankan agar menggiatkan meningkatkan usaha itu untuk mendapatkan fenomens – fenomens baru sekitar masa lampau daerah tersebut. Karena tidak sedikit jumlah sumber sejarah daerah yang masih yang masih terpendam yang belum diabadikan secara tertulis.

3.Kepada pemerintah serta segenap unsur jawatan yang berkompoten didaerah Tingkat II Bima disarankan, agar dapat mencurahkan perhatian kearah penulisan sejarah. Untuk itu, langkah – langkah yang perlu diambil, antara lain memelihara peninggalan – peninggalan sejarah masa lampau, serta memberikan fasilitas bantuan pada usaha penulisan sejarah daerah tersebut.

Demikianlah kesimpulan dan saran – saran yang dapat dikemukakan, semiga bermanfaat dalam rangka peningkatan hidup kemanusiaan dan pembangunan bangsa dan negara ini.


DAFTAR PUSTAKA

Al Qur’anul Kariem.
Abdullah, Achmad, BA. Kerajaan Bima dan Keberadaannya, Terbit : Maret 1992 ; Bima, 1992.

Amin, Ahmad. Sejarah Bima dan Sejarah Pemerintahan Serba-Serbi Kebudayaan Bima, Terbit : Maret 1982.

Abdullah, Tayeb, BA. Peranan Agama Islam Terhadap Kehidupan Sosial Budaya Bima Terbit : 1982 di Bima tahun 1982.

A-Maududi, Abul A’la. Al-Khilafah Wa al Mulk. Diterjemahkan oleh Muhammad Baqir dengan judul ”Khilafah dan Kerajaan”. Cet. I, Bandung, Mizan, 1988.

Al-Banna, Hasan. Majmu’ah, Diterjemahkan oleh Su’adi Sa’adi dengan judul ”Konsep Pembaharuan Masyarakat Islam” Cet. I, Jakarta, Media Dakwah, 1987.

A. Hasjmy, Dimana Letaknya Negara Islam. Cet. I, Surabaya PT. Bina Ilmu, 1984.

BO. Dana Mbojo. (Catatan Lama Istana Bima), Bo Sangaji, BO. Bicarakai, BO. Melayu, BO. Bumi Luma. tt

BO (Suatu Himpunan Catatan Kuno Daerah Bima), Oleh proyek Pengembangan Permuseuman : Nusa Tenggara Barat, t.t.)

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi. Sejarah Nusa Tenggara Barat, Terbit 1977.

___________, Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1977/78.

___________, Sejarah Sekitar Kerajaan Dompu, Terbit : 1985, Dompu,.1985.

Departemen Agama RI. Al Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta, YPPA, 1990.

Djamaluddin, Acep. Drs. at. al. Album Seni Budaya Nusa Tenggara Barat, Proyek Media Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta : 1977.

M. Hilir, Ismail. Drs. Peranan Kesultanan Bima Dalam Perjalanan Nusantara, Terbit 1988, Bima. 1988.

Notosusanto, Nugroho, et. al. Sejarah Nasional Indonesia, Jilid : II dan III, Jakarta : 1975.

Nasution, S. Prof. Dr. MA. Metode Research. Edisi Ketiga, Bandung : Jenmars ; 1991..

Rais, M, Amin, Dr., Cakrawala Islam antara Cita dan Fakta, Cet. I, Bandung, Mizan, 1987.

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. VII, Jakarta, Balai Pustaka, 1984.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar