Senin, 08 Februari 2010

ANALISIS TENTANG PELAKSANAAN HAK-HAK TERSANGKA DALAM PROSES PERADILAN PIDANA (Studi Kasus Kabupaten Soppeng) [BAB II]

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Hak Asasi Manusia

Konsep hak-hak asasi manusia mempunyai dua pengertian dasar, pertama, merupakan hak-hak yang tidak dapat dipisahkan dan dicabut adalah hak manusia karena seorang manusia. Hak ini adalah hak-hak moral yang berasal dari kemanusiaan setiap insane dan hak-hak itu bertujuan untuk menjamin martabat setiap manusia. Kedua, hak menurut hukum yang dibuat sesuai proses pembentukan hukum dari masyarakat itu sendiri, baik secara nasional, maupun secara internasional.

Konsep kesadaran manusia terhadap hak asasi berasal dari keinsyafannya terhadap harga diri, harkat dan martabat kemanusiaannya. Karena itu, sesungguhnya hak-hak manusia itu sudah ada sejak manusia itu dikodratkan lahir didunia ini. Dengan demikian, hak-hak asasi manusia bukan merupakan hal yang baru. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya perjuangan rakyat Indonesia dengan berbagai macam pergerakannya untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan yang hakikatnya merupakan perjuangan untuk harkat dan martabat manusia yang lebih baik.

Menurut UU No.39 Tahun 1999 konsep HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setgiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat Negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 butir 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM)

Dalam undang-undang ini pengaturan mengenai HAM ditentukan dengan berpedoman pada deklarasi HAM PBB, konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, konvensi PBB tentang hak-hak anak dan berbagai instrument internasional lain yang mengatur tentang HAM. Materi undang-undang ini disesuaikan juga dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang berdasarkan pancasila, UUD 1945, dan TAP MPR-PI No XVII/MPR/1998.

Hak-hak yang tercantum dalam undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM terdiri dari
1.Hak untuk hidup. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, meningkatkan taraf kehidupannya, hidup tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin serta memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat.

2.Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan. Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah atas kehendak yang bebas

3.Hak mengembangkan diri. Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif untuk membangun masyarakat bangsa dan negaranya

4.Hak memperoleh keadilan. Setiap orang tanpa diskriminasi berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan adil dan benar.

5.Hak atas kebebasan pribadi. Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politik, mengeluarkan pendapat dimuka umum, memeluk agama masing-masing, tidak boleh diperbudak, memilih kewarganegaraan tanpa diskriminasi, bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia.

6.Hak atas rasa aman. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, hak milik, rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.

7.Hak atas kesejahteraan. Setiap orang berhak untuk mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, bangsa dan masyrakat dengan cara tidak melanggar hukum serta mendapatkan jaminan social yang dibutuhkan, berhak atas pekerjaan, kehidupan yang layak dan berhak mendirikan serikat pekerja demi melindingi dan memperjuangkan kehidupannya.

8.Hak turut serta dalam pemerintahan. Setiap warga Negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau perantara wakil yang dipilih secara bebas dan dapat diangkat kembali dalam setiap jabatan pemerintahan.

9.Hak wanita. Seorang wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkay\t dalam jabatan, profesi dan pendidikan sesuai dengan persyaratan dan peraturan perndang-undangan disamping itu berhak mendapat perlindungan khusu dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya.

10.Hak anak. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan Negara serta memperoleh pendidikan, pengajaran dalam rangka pengembangan diri dan tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum

2.2. Sistem Peradilan Pidana
Sistem peradilan pidana di Indonesia telah menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan.
Remington dan Ohlim (dalam Atmasasmita; 1982) mengemukakan; criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan praktek administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial.
Hagan (dalam Atmasasmita, 1996) membedakan pengertian antara “criminal justice process” adalah setiap tahap dari suatu putusang yang menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya kepada penentuan pidana baginya. Sedangkan “criminal justice system” adalah interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.

Sedangakan Mardjono (dalam atmasasmita, 1982), memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan sistem perdilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan masyarakat terpidana. Muladi memberikan penyebutab sinkronisasi yang mengandung makna keserupaan dan keselarasan. Sinkrinisasi dalam hal ini sesuai dengan makna dan ruang lingkup sistem yang dapat bersifat phisik dalam arti sikronisasi structural (structural synchronization), dapat pula bersifat substansial (substancial synchronization) dan cultural (cultural synchronization).

Dalam hal sinkronisasi structural, keserempakan dan keselarasan dituntut dalam mekanisme administrasi peradilan pidana (the administration of justice) dalam kerangka hubungan antara lembaga penegak hukum.

Pemahaman terhadap tiga kerangka sinkronisasi di atas sangat penting, mengingar apa yang dinamakan sistem peradilan pidana pada hakekatnya merupakan open system, mengingat besarnya pengaruh masyarakat dan bidang-bidang kehidupan manusia terhadap keberhasilan pencapaian tujuan.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai aturan hukum dalam melaksanakan proses perkara pidana pada sistem peradilan pidana di Indonesia. Proses tahap awal yaitu penyelidikan dan penyidikan sampai tahap akhir pelaksanaan putusan aturan mengenai tindakan dan kewenangan masing-masing subsistem dalam sistem peradilan pidana telah ditugaskan dalam KUHAP.

Proses dari awal hingga akhir perjuangan, secara yuridis dijamin dengan peraturan perundang-undangan. Individu diberikan hak untuk berjuang membuktikan ketidakbersalahannya. Proses membuktikan ketidakbersalahannya itu merujuk kepada suatu aturan perundang-undangan yang disebut criminal jutice system (sistem peradilan pidana).

Pada sistem peradilan pidana dibutuhkan kemandirian yang disebut dengan kemandirian yudisial. Sehubungan dengan kemandirian yudisial, J.E.Sahetapy (dalam Aswanto, 1999) antara lain menguraikan bahwa ada empat model kemandirian yudisial:
1.Crime control model;
2.Due process model;
3.Family model;
4.Pengayoman model;

Lebih lanjut J.E. Sahetapy (dalam Aswanto, 1999) menjelaskan bahwa menurut crime control model dan due process model diseimbangkan menjadi satu model yaitu Battle model, mencari keseimbangan kepentingan tersangka. Terdakwa maupun kepentingan penuntut umum.

Due process model penekanannya adalah perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia (manusiawi), mencegah jangan sampai terjadi penyalahgunaan wewenang. Proses peradilan dihambat dan apabila semakin terhambat, semakin dianggap baik dengan tujuan mencegah kesalahan. Pada family model ada nilai-nilai yang digunakan untuk membenarkan teorinya. J.E. sahetapy menguraikan bahwa kalau mengikuti
aliranabolisionisme bahwa the family model hamper sama dengan abolisionosme. Family model maupun abolisionisme sangat menghormati hak-hak asasi manusia.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 merupakan landasan bagi terselenggaranya proses peradilan pidana yang benar-benar bekerja dengan baik dan berwibawa serta benar-benar memberikan perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat tersagka, tertuduh, atau terdakwa sebagai manusia.

Dalam konteks inilha kita berbicara tentang mekanisme peradilan pidana sebagai suatu proses atau disebut “criminaljustice process”. Suatu system peradilan yang dimulai dari proses penangkapan, penggeledahan, penahanan, penuntutan dan pemeriksaan di muka siding pengadilan serta diakhiri dengan pelaksanaan pidana di Lembaga Pemasyarakatan.

Mardjono tidak memandang system peradilan pidana sebagai suatu kegagalan dan karenanya perlu ditiadakan melainkan sebagai suatu kenyataan yang tidak terpisahkan dari sejarah perkembangan hokum suatu bangsa yang tidak dapat dilepaskan dari masa penjajahan Belanda dan Jepang. Namun dalama pelaksanaan system peradilan pidana Indonesia hendaknya memperhatikan kenyataan bahwa angka statistika kriminal yang dapat diungkap terutama pada kepolisian bukan angka absolut sehingga angka statistic kriminal tersebut dijadikan suatu ukuran untuk memberikan penilaian mengenai keadaan kriminalitas di Indonesia yang sebenarnya.

Berolak dari kenyataan di atas, maka Mardjono (dalam Muladi, 1995) menyarankan agar perlu ada batas-batas toleransi pelaksanaan system peradilan pidana dalam melihat kejahatan dan penegakan hukum.

2.3. Hak-Hak Tersangka Menurut KUHAP
Pengaturan tentang perlindungan hak-hak asasi manusia (tersangka) di Indonesia secara yuridisa telah dijamin dan disusun/dimuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah HAM adalah KUHAP (Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Lembaga Negara Republiik Indonesia Tahun 1981 No. 78).

Dalam KUHAP banyak mengatur tentang hak-hak bagi tahanan yang disatukan dengan hak-hak bagi terdakwa, yakni mulai pasal 50 sampai 68 KUHAP.
Pada penjelasan dalam pasal 50 KUHAP dikemukakan bahwa

Diberikannya hak kepada tersangka adalah untuk menjauhkan kemungkinan terkantung-katungnya nasib seseorang yang disangka melakukan tindak pidana terutama mereka yang dikenakan penahanan, jangan sampai lama tidak mendapat pemeriksaan sehingga dirasakan tidak adanya kepastian hukum, adanya perlakuan sewenang-wenang dan tidak wajar.

Adapun hak-hak tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan menurut KUHAP adalah sebagai berikut:
1.Hak untuk menerima surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakik, pasal 21 ayat (2);

2.Hak untuk menerima tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim, pasal 21 ayat (3). Tembusan yang dimaksud harus diberikan kepada keluarga tersangka atau terdakwa;

3.Hak mengajukan keberatan terhadap perpanjangan penahanan. Hak ini diatur dalam pasak 29 ayat (7);

4.Hak meminta kerugian. Hak tersangka atau terdakwa ini diatur pada pasal 30 yaitu apabila tenggang waktu penahanan sebagaimana tersebut pada pasal 24, 25, 26, 27 atau perpanjangan penahanan sebagaimana tesebut pada pasal 28 atau perpanjangan penahanan sebagaimana tersebut dalam pasal 28 ternyata tidak sah, tersangka atau terdakwa berhak meminta ganti kerugian sesuai dengan ketentuan yang dimaksud dalam pasal 95 dan 96;

5.Hak segera mendapatkan pemeriksaan penyidik, Pasal 50 ayat (1) jo pasal122;

6.Hak agar perkaranya segera dimajukan ke pengadilan dan diadili. Pasal 50 ayat (2 dan 3);

7.Hak meminta penjelasan apa yang disangkakan, hal ini diatur pada pasal 51 huruf a, yaitu untuk mempersiapkan pembelaan tersangka berhak diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai;

8.Hak member keterangan secara bebas, dijamin dalam ketentuan pasal 52 dan pasal 117 ayat (1), keterangan tersangka atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun;

9.Hak untuk mendapatkan bantuan hukum sebagaimana yang diatur pada pasal 54;

10.Hak menghubungi dan menerimaa kunjungan dokter pribadi, pasal 58;

11.Hak tersangka untuk diberitahukan kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka atau terdakwa ataupun orang lain yang bantuannya dibutuhkan termasuk untuk mendapatkan bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhan penahanannya, pasal 59;

12.Hak untuk menghubungi atau menerima kunjungan sanak keluarga atau yang mempunyaihubungan kekeluargaan, baik langsung atau diwakili penasehay hukumnya, pasal 60 dan 61

13.Hak untuk menerima atau ,engirim surat kepada penasehat hukum atau sanak keluarganya, pasal 62 ayat (1)

14.Hak menghubungi atau menerima kunjungak rohaniawan, pasal 63;

15.Hak untuk meminta turunan beriata acara pemeriksaan, pasal 72;

16.Hak untuk pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, pasal 97 dan 124;

17.Hak untuk mengajukan keberatan atas penahanan atau jenis penahanan, pasal 123 ayat (1).

Berdasarkan pemaparan tersebut sebagaimana diatur dalam KUHAP mulai pasal 50 sampai pasal 68 KUHAP menunjukkan bahwa tersangka ataupun terdakwa bukan semata-mata objek pemeriksaan, tersangka berhak memberikan keterangan secara bebas dan bebas dari tekanan baik fisik maupun psikis. Lebih penting lagi adalah hak tersangka untuk memperoleh bantuan hukum dan penasehat hukum, dan dapat mengadakan komunikasi dengan penasehat hukum yang ditunjuk. Penasehat hukumnya berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang.

Asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) yang juga dianut dalam penegakan hukum di Indonesia menjadi dasar bahwa setiap tersangka atau terdakwa masih berstatus sebagai orang merdeka, dengan demikian pemahaman atas dirinya bukan sebagai perampasan kemerdekaan melainkan semata-mata demi kepentingan dan kelancaran pemeriksaan.

Sesungguhnya penyidik yang memperoleh keterangan dengan paksaan dapat diancam pidana pada pasal 422 KUHAP yang menyatakan bahwa: pegawai negeri yang dalam perkara pidana mempergunakan paksaan, baik untuk memaksa sengaja mengakui maupun untuk memancing orang sengaja memberikan keterangan duhukum penjara selamanya 4 tahun.
Dalam Undang-undang Asasi Manusia No. 39 Tahun 1999 pada pasal 18 butir 1 sampai 5 mengatakan bahwa:
1.Setiap orang ditangkap, ditahan dan dituntut karena tersangka melakukan suatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2.Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana kecuali berdasarkan suatu aturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukannya;
3.Setiap ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan maka berlaku ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka;
4.Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
5.Stiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatn hukum tetap.
Secara ideal hak-hak para tahanan cukup dijamin dalam perundang-undangan ketentuan tersebut didasarkan pada asas praduga tak bersalah sehingga diharapkan pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM dapat dicegah serta penangkapan yang sewenang-wenang dapat dihindari. Harus pula dipahami bahwa secara psikologis bahwa orang yang ditahan merasa tertekan, dengan demikian penahanan harus betul-betul sesuai dengan unang-undang yang berlaku serta hendaknya dilakukan yang tepat.

Dalam Undang-undang RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian Negara RI. Dikemukakan bahwa hubungan polisi dengan orang yang ditahan:

1.Petugas penegak hukum tidak boleh menggunakan kekerasan kecuali hanya bila sangat diperlukan untuk memelihara keamanan dan ketertiban ditempat penahanan, atau bila keselamatan pribadinya terancam
2.Petugas penegak hukum tidak boleh menggunakan senjata apai kecuali untuk membela diri atau ,membela orang lain terhadap ancaman mati atau luka berat yang terjadi.

2.4. Konsekuensi Hukum Terhadap Pengabaian Hak-Hak Tersangka
Keinginan untuk mewujudkan suatu metode penyidikan ilmiah (scientific investigation method) sering kali mengalami beberapa hambatan yang dianggap problematik. Salah satunya adalah sering ditemukannya tindakan menyimpang dari pejabat penyidik dalam proses penyidikan, antara lain tindakan penyiksaan yang bertujuan untuk memperoleh pengakuan dari tersangka. Tidak jarang akibat tindakan penyiksaan ini membawa dampak kejiwaan pada tersangka, baik perlakuan yang mengakibatkan luka-luka serius bahkan sampai mati.

Usaha untuk memperoleh pengakuan dengan cara penyiksaan itu kadang kala dianggap telah membudaya demi efisiensi dan efektifitas pengungkapan suatu perkara pidana. Lebih ekstrim lagi ternyata pengakuan tersangka sekadar untuk menunjukkan orientasi subjektivitas. Prestasi kerja yang relatif cepat dalam pengungkapan suatu kasus pidana walaupun akhirnya penyiksaan menjadi isu primer dan sumber protes pihak lainnya.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sama sekali tidak memuat akibat hukum terhadap bukti-bukti yang diperoleh secara tidak sah, seperti halnya penyidikan yang dilakukan dengan peniyiksaan tersebut. Selain itu tidak ditentukan mengenai institusi independen manakah yang berwenang untuk menentukan ketidakabsahan perolehan bukti misalnya: pengakuan tersangka yang didasarkan suatu penyiksaan secara tidak saha,tidak ada penempatannya dalam KUHAP

Berkaitan dengan kekosongan hukum (acara) hal ini justru lebih membawa peran Mahkamah Agung (MA) menempuh jalur rechtsvinding terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak ditemukan aturannya dalam KUHAP tentunya dengan mengingat pula asas proporsionalitas maupun subsidiaritas. Sebenarnya peran rechtsvinding melalui rule making power-nya pernah terjadi apabila kita menengok dan ingat akan peran MA melalui Perma No. 1 Tahun 1980 untuk menghidupkan acara peninjauan kembali dalam hukum pidana formal Indonesia (herziening) yang sebelumnya tidak dikenal pengaturannya dalam hukum positif kita.

Peran Mahkamah Agung menerapkan ekstensif interpretasi dipandang perlu untuk menentukan institusi independen yang berwenang memutuskan keabsahan tidaknya perolehan suatu bukti termasuk pengakuan tersangka yang diperoleh dengan penyiksaan. Selama ini kita mengetahui keberadaan lembaga praperadilan melalui pasal 77 KUHAP terbatas oada memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan berikut tuntutan ganti rugi atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyelidikan dan penuntutan.

Dengan melihat ketatnya dinamisasi hukum pidana formal itu, tentunya sifat limitatif dari kewenangan lembaga praperadilan perlu ditinjau kembali efektifitasnya khususnya dalam menghadapi problema perolehan-perolehan bukti secara tidak sah seperti penyiksaan ini. Artinya tinjauan ini bukanlah dimaksudkan dengan mencari suatu kewenangan yang eksesif dan ekstensif melainkan sekadar mengaktifkan lembaga praperadilan sebagai institusi independen yang tujuan tugas mempercepat prosedur pemutusan segala sesuatu yang berkaitan dengan illegally secured evidence tersebut termasuk penyidikan yang diperoleh dengan penyiksaan oleh penyidik

ANALISIS TENTANG PELAKSANAAN HAK-HAK TERSANGKA DALAM PROSES PERADILAN PIDANA (Studi Kasus Kabupaten Soppeng) [BAB I]

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang menjadi pokok permasalahan adalah manusia sebagai rakyat dari negara. Negara hanyalah sebagai alat bagi manusia untuk mencapai suatu tujuan. Demikian halnya dengan keberadaan konstitusi suatu negara, dibuat dan diperuntukkan bagi kemaslahatan penduduk negara. Oleh karenanya, manusia dengan segenap hak asasi yang dimilikinya haruslah mendapat perhatian dan jaminan perlindungan dari negara. Eksistensi negara dalam hal ini adalah sebagai lembaga yang bertuga untuk mengakomodasi kepentingan rakyatnya.

Konsekuensi suatu negara seperti Negara Republik Indonesia harus mencerminkan seluruh tatanan pemerintahannya berdasarkan hukum yang berlaku. Untuk itu, jaminan secara khusus mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) baik secara eksplisit maupun inplisit, telah tertuang dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta berbagai produk peraturan Perundang-undangan lainnya.

Mengenai pengertian HAM, Ranadiraksa (2000) memberikan defenisi bahwa hakikatnya HAM adalah seperangkat ketentuan atau aturan untuk melindungi warga negara dari kemungkinan penindasan, pemasungan dan atau pembatasan ruang gerak warga negara. Artinya, ada pembatasan-pembatasan tertentu yang diberlakukan pada warga negara agar hak warga negara yang paling hakiki terlindungi dari kesewenang-wenangan kekuasaan.
Menurut Mahfud M.D. (dalam Muladi, 1995 : 21) “hak asasi manusia itu diartikan sebagai hak yang melekat pada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, dan hak tersebut bersifat fitri (kodrat).” Dari dua pendapat tersebut diatas penulis menrik kesimpulan bahwa HAM adalah hak dasar yang melekat pada setiap individu sejak lahir ke muka bumi dan bukan merupakan pemberian manusia atau negara yang wajib dilindungi oleh negara.

Todung Mulya Lubis (dalam Aswanto, 1999 : 45) menyatakan bahwa dalam kurun waktu kemerdekaan setidaknya ada tiga priode sejarah dimana terjadi perdebatan intens mengenai HAM (human rights discourse), yaitu pada tahun 1945, tahun-tahun Konstituante Khusus, tahun 1957-1959 dan di awal bangkitnya Orde Baru tahun 1966-1986. Selanjutnya pada masa kabinet reformasi pembangunan, telah terjadi berbagai kasus diantaranya semanggi I tanggal 13 November 1998, Semanggi II tanggal 22 September 1999. Sejak pergantian Orde Baru dan Kabinet Reformasi sampai dengan kabinet Gotong Royong, telah banyak menetapkan peraturan perundang-undangan yang berprespektif HAM dan stratifikasi HAM sebagai bukti konkrit upaya penghargaan terhadap perjuangan hak asasi manusia.

Sehubungan dengan uraian di atas, meskipun pada prinsipnya berbagai ketentuan pokok telah dibuat dan diterapkan dengan tujuan untuk menghormati tegaknya jaminan HAM di berbagai belahan dunia temasuk di negara Republk Indonesia tercinta ini. Namun kenyataan menunjukkan bahwa sampai saat sekarang ini, belum sepenuhnya mampu memberikan jaminan yang memuaskan bagi kemaslahatan umat manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal tersebut tampak secara jelas dalam berbagai bentuk dan jenis penindasan oleh individu dan atau sekelompok orang yang dikarenakan kekuasaan dan kepentingan yang dimilikinya untuk menindas kaum yang lemah.

Sekaitan dengan fokus penelitian yang menitikberatkan pada jaminan perlindungan hak asasi terhadap tersangka dalam proses penyidikan khususnya dalam lingkup kepolisian RI Polres Soppeng, pada kenyataannya seorang dalam kedudukannya sebagai tersangka menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku diberi hak dan jaminan perlindungan secara hukum. Namun dalam prakteknya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pihak aparat petugas (penyidik kepolisian) dalam menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangan yang diberikan oleh negara terkesan kurang memperdulikan batas-batas kewenangan, dalam hal ini hak-hak tersangka menjadi terabaikan dan terkadang disertrai dengan penggunaan kekerasan (arogan) selama menjalankan tugas penyidikan.

Para tersangka kadang mendapat pemaksaan untuk mengakui suatu perbuatan didepan penyidik. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pemeriksaan. Penyiksaan terhadap tersangka terjadi terutama terhadap tahanan yang tidak memiliki pensehat hukum. Seorang tahanan terpaksa harus mengakui suatu perbuatan karena tidak tahan dengan pemaksaan dalam bentuk kekerasan yang dilakukan polisi.

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga diatur tentang wewenang penyidikan yang menetapkan polisi sebagai penyidik tunggal untuk perkara yang dikategorikan sebagai tindak pidana umum. Hal ini dapat disimak dalam pasal 6 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (maupun pejabat Pegawai negeri Sipil tetentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang). Oleh karena itu sejak berlakunya KUHAP maka kewenangan polisi sebagai penyidik tunggal mulai berlaku, meskipun masih terdapat pengecualian (Pasal 284 KUHAP).

Fenomena pemaksaan dalam bentuk kekerasan yang dilakukan oleh seorang penyidik pada saat pemeriksaan kadang terkuak pada saat persidangan di pengadilan. Dalam beberapa peristiwa terkadang para tersangka harus mengakui suatu perbuatan yang tidak dilakukannya karena mendapat tindak kekerasan dari penyidik apabila tidak mau mengakui suatu perbuatan yang dituduhkan.

Dalam konteks hukum pidana Indonesia dikenal adanya asas praduga tak bersalah (Presumtion of Innocence) serta asas persamaan kedudukan dalam hukum pidana nasional baik secara materil maupun formil. Dalam konteks hukum pidana materiil permasalahan berkisar pada tiga hal pokok yakni ; perumusan perbuatan yang dilarang (kriminalisasi), pertanggung jawaban pidana (kesalahan) dan sanksi yang diancamkan. Sedangkan konteks hukum pidana formil atau acara pidana, pengaturan dan penerapan asas praduga tidak bersalah dan asas persamaan dalam hukum bermanfaat untuk menciptakan harmonisasi dan pelaksanaan yang tegas.

Eksistensi asas praduga tak bersalah, secara khusus menghendaki bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili didepan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan tersangka berhak memperoleh hak-haknya sebagaimana yang telah ditentukan antara lain dalam pasal 24, 25, 26, 27, 28, 32, 38, pasal 50 ayat (1, 2, 3) pasal 51, 52, 53, 54, 55, 56 ayat (1, 2) pasal 57, 58, 59, 60, 61, 62, 64, 65, 72 KUHAP.

Sejalan dengan penegasan pasal di atas, Subekti (dalam Muladi, 1995) menyatakan bahwa hak-hak asasi yang dijamin oleh KUHAP terutama berkisar pada kebebasan atau kemerdekaan hak atas kehormatan dan nama baik serta atas rahasia pribadi. Perlindungan terhadap hak asasi tersebut berkenaan dengan penyelidikan atau penyedikan dan penahanan/penggeledahan.

Tanpa mengabaikan aspek lain yang turut mempengaruhi kondisi penegakan HAM khususnya pada tahap pra ajukasi (tahap penyidikan), pengetahuan dan pemahaman individu terhadap hukum mempunyai relevansi yang kuat dalam kehidupan sehari-hari. Betapa tidak, seorang anggota masyarakat yang awam hukum mempunyai kecenderungan untuk dilecehkan hak asasinya dalam tahapan tersebut seperti menakut-nakuti tersangka dengan berbagai macam ancaman, dijemur ditengah teriknya matahari, dimasukkan dalam kamar gelap, sampai dengan penyiksaan yang sadis dengan mencabut kuku jari tangan dan kaki. Tindakan-tindakan seperti ini pada dasarnya dilakukan guna mendapatkan jawaban/pengakuan yang dipaksakan agar penanganan kasus oleh penyidik dapat dilanjutkan kepada penuntut umum. Dengan demikian, oknum penyidik yang melakukann skenario sebagai pelaksana tugas penyidikan dianggap tidak gagal alias berhasil dalam menjalanka tugasnya. Pelanggaran terhadap hak-hak tersangka seperti penangkapan dan penahanan seseorang tanpa disertai dengan surat penangkapan, fenomena penyiksaan atau pemukulan, pemaksaan menandatangani suatu berkas perkara tanpa member kesempatan kepada tersangka untuk terlebih dahulu membacanya secara seksama merupakan suatu tindakan yang melanggar hak-hak tersangka.

Menelaah kondisi sebagaimana dijabarkan dalam uraian di atas, menimbulkan interprestasi bahwa pada dasarnya pelaksanaan hak-hak tersangka pada tahap penyidikan belum sepenuhnya mendapat jaminan dari pihak penyidik. Untuk meminimalisasi terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak tersangka, maka perlu kiranya dilakukan upaya-upaya pencegahan.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dilakukan penelitian pada lingkup Polres Soppeng yang memiliki tugas dan wewenang dalam hal penyelidikan, penangkapan, penahanan, dan penyelidikan.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.Bagaimanakah pelaksanaan hak-hak tersangka dalam proses pemeriksaan oleh penyidik di Kantor Kepolisian Polres Soppeng?
2.Fakto-faktor apakah yang mempengaruhi hak-hak ersangka dalam proses penyidikan di Kabupaten Soppeng.


1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian adalah:
1.Untuk mengetahui pelaksanaan hak-hak tersangka dalam proses pemeriksaan oleh penyidik di Kantor Kepolisian Polres Soppeng.
2.Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi hak-hak tersangka dalam proses penyidikan di Kabupaten Soppeng..

1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini, diharapkan dapat memiliki daya manfaat terutama
1.Sebagai bahan masukan sekaligus sebagai bahan pertimbangan khususnya bagi pihak aparat Kepolisian RI Polres Soppeng dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya berdasarkan pada ketentuan-ketentuan yang berlaku secara nasional;
2.Sebagai bahan informasi ilmiah dalam rangka memperkaya cakrawala pemikiran bersama terutama di kalangan para akademisi maupun praktisi;
3.Hasil penelitian ini dapat pula dijadikan sebagai bahan acuan bagi pengembangan aktifitas ilmiah terutama dalam rangka pelaksanaan penelitian lanjutan.

1.5. Metode Penelitian

a.Jenis dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yaitu menggambarkan substansi fakta yuridis dengan kualitas peristiwa hukum yang terjadi kemudian dikaji dengan hasil penelitian kualitatif melalui data dokumentasi dan wawancara kepada orang/informasi berdasarkan persepektif ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Penelitian ini di laksanakan di Kabupaten Soppeng dengan fokus penelitian pada penanganan kasus-kasus pidana.

b.Jenis dan Sumber Data
Jenis penelitian ini merupakan penelitian hukum kualitatif. Penelitian hukum kualitatif pada umumnya hanya menilai gejala atau fakta yurudis yang tidak menggunakan angka. Disamping itu dalam penelitian hokum kualitatif bukanlah berapa jumlahnya peristiwa hokum yang terjadi itu. Jadi yang menjadi fokus perhatiannya bukan banyaknya pelanggaran hukum yang terjadi melainkan bagaimana terjadinya pelanggaran hukum.

Adapun jenis data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data prmer diperoleh melalui wawancara baik tersangka mauipun aparat hukum kepolisian RI Polres Soppeng, sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil pengamatan dokumen yang ada kaitannbya dengan penelitian ini.

c.Teknik Pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara
1.Wawancara, yaitu melakukan wawancara mendalam pada para tersangka dan aparat penyidik untuk memperoleh perbandingan antara pelaksanaan ketentuan hukum dan fakta yang sebenarnya
2.Pedoman wawancara tertulis
3.Dokumentasi, yaitu pengumpulan data untuk melengkapi
1.Penganiayaan : 1 Orang
2.Pencurian : 1 Orang
3.Pemerkosaan : 1 Orang
4.Narkoba : 1 Orang
5.Senjata tajam : 1 Orang

Anggota polisi sebanyak 4 orang terdiri dari jenis kejahatan
1.Penganiayaan
2.Pencurian
3.Pemerkosaan
4.Narkoba

d.Analisis Data
Data yang diperoleh dari berbagai sumber data penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif kemudian mendeskripsikan secara mendalam tentang: (1) kecenderungan pelaksanaan hak-hak tersangka selama proses pemeriksaan penyidik di kantor kepo0lisian Soppeng, dan (2) upaya-upaya yang ditempuh oleh pihak kepollisian RI dalam jajaran Polres Soppeng dalam mendalami kendala yang ada

Senin, 01 Februari 2010

PRODUKSI TERNAK UNGGAS

BAB I
MEMILIH VARIETAS AYAM

Suatu varietas ayam adalah suatu ras atau family dari ayam yang memiliki kesamaan umum dalam hal ukuran, bentuk atau profil, dan pembawaan. Semua ayam dalam satu varietas akan memiliki karakteristik yang sama yaitu: warna kulit, Varietas ini selanjutnya dibagi ke dalam beberapa kelas. Kelas ayam yang sudah banyak dibudidayakan pada umumnya diberi nama yang dikaitkan dengan tempat asalnya, misalnya American, Asiatic, English, Mediteranian, dan semacamnya.

Untuk memulai usaha kecil-kecilan di bidang peternakan ayam, ada tiga jenis varietas yang bisa dipilih berdasarkan tujuan pemeliharaannya, yaitu: ayam petelur, ayam pedaging atau ayam potong, dan ayam berfungsi ganda untuk kedua maksud tersebut.

A.Ayam Petelur
Ayam petelur - Ayam ini tubuhnya relatif lebih kecil. Produksi telurnya antara 250 sampai 280 butir per tahun. Telur pertama dihasilkan pada saat berumur 5 bulan dan akan terus menghasilkan telur sampai umurnya mencapai 10 - 12 tahun. Umumnya, produksi telur yang terbaik akan diperoleh pada tahun pertama ayam mulai bertelur. Produksi telur pada tahun-tahun berikutnya cenderung akan terus menurun.
Ada dua pilihan untuk ayam petelur ini yang dibedakan dari warna telurnya, yaitu:

1.Telur berwarna putih
Ayam petelur dengan telur berwarna putih yang terbaik adalah dari Jenis ras Leghorn. Hanya saja ayam ini suka terbang dan sangat berisik. Jenis ras lainnya yang menghasilkan telur putih diantaranya adalah Minorcas. Anconas, dan California White.

2.Telur berwarna coklat
Sedangkan ayam peterlur dengan telur berwarna coklat yang terbaik adalah dari Jenis ras Production Red. Ayam hibrida ini adalah hasil perkawinan silang dari ayam petelur Rhode Islands Red dan New Hampshire. Sedangkan ayam ras Rhode Islands Red dan New Hampshire sendiri sudah tergolong sebagai ayam petelur yang baik dalam menghasilkan telur berwarna coklat.

B.Ayam Pedaging
Ayam pedaging - Ayam silang Cornish Rock adalah ayam pedaging yang tergolong terbaik pada saat ini. Ayam ini merupakan hasil silang dari Cornish dan Plymouth Rock. Ayam pedaging lainnya yang tergolong baik adalah dari jenis ras Brahmas, Cochins, dan Cornish. Ayam pedaging yang baik adalah ayam yang mengkonsumsi dua kilogram pakan untuk menghasilkan satu kilogram berat tubuhnya. Ayam betina pada umumnya djual ke pasar pada saat beratnya mencapai antara satu tiga per empat kg sampai dua setengah kg sedangkan ayam jantan antara tiga kg sampai empat kg. Ayam yang semakin cepat pertumbuhannya maka semakin ekonomis unuk dipelihara.

Ayam berfungsi ganda - Ayam pada jenis ini merupakan campuran antara ayam petelur dan ayam pedaging. Dominiques, Plymouth Rocks, Sussex, Orpington, and Wynadottes adalah beberapa ras ayam dari ayam berfungsi ganda. Ayam kampung di negara kita adalah termasuk pada jenis ini.Telur ayam jenis ini berwarna coklat dan mereka membesarkan sendiri anak-anaknya. Pada umumnya mereka tidak menghasilkan berat tubuh secepat ayam pedaging dan juga tidak menghasilkan telur sebanyak ayam petelur. Ayam ini berciri khas sebagai ayam yang dipelihara di halaman belakang rumah. Peternak akan memperoleh telur ayam untuk konsumsi sehari-hari disamping sesekali memperoleh daging ayam jantan dari kelebihan jumlah yang diperlukan dan daging ayam-ayam tua yang sudah tidak produktif lagi.

Pertimbangan lain dalam memilih jenis varietas ayam adalah kondisi cuaca lokal di tempat peternakan berada.

Ayam yang berbulu tebal akan lebih cocok dipelihara ditempat yang bercuaca lebih dingin dari pada ayam yang berbulu tipis. Orpingtons, Brahmas, Cochins. Plymouth Rocks, Rhode Island Reds dan Wyandottes adalah ayam-ayam yang berbulu tebal yang berarti cocok pada cuaca dingin. Leghorn, Minorca, Andalusian, Hamburgs dan ayam Mediterranean lainnya akan lebih baik dipelihara pada tempat-tempat yang bercuaca lebih hangat.

Untuk lebih jelasnya dalam menentukan varietas yang cocok dengan cuaca lokal di tempat Anda, sebaiknya dikonsultasikan pada Dinas Peternakan Ayam setempat atau perusahaan ternak ayam terdekat.

Lebih lanjut, sebaiknya dibiasakan membeli anak ayam yang berkualitas sesuai kebutuhan. Apabila anak ayam dibeli dari perusahaan peternakan ayam, mintalah sekalian divaksinasi terhadap penyakit Marek. Vaksinasi ini sebaiknya dilakukan segera setelah anak ayam dientaskan agar sepanjang hidupnya tercegah dari serangan penyakit Marek yang sangat mematikan. Untuk broiler atau ayam pedaging, agar lebih murah harganya, pilihlah anak ayam yang belum diseleksi kelaminnya (straight-run).
Hendaknya diingat bahwa pada waktu memilih varietas ayam ini apabila ada yang cocok jangan dulu langsung dibeli. Anggap saja Anda berada dalam tahapan sedang melakukan survey, bukan sedang membeli. Pembelian anak ayam sebaiknya dilakukan apabila segala persiapan untuk kedatangan anak ayam telah selesai dikerjakan, karena apabila belum siap maka risiko kematian anak ayam yang baru dibeli tersebut akan sangat tinggi.


BAB II
MEMELIHARA PERKEMBANGAN AYAM

Dengan sistem ventilasi dalam kandang yang tepat, pemberian air minum yang bersih, dan pemberian makanan yang dijaga keseimbangannya maka anak ayam akan terus tumbuh dengan baik. Ventilasi yang tepat akan menjaga kandang dan alasnya tetap kering sehingga membantu dalam mencegah timbulnya penyakit. Alas yang basah atau kandang yang lembab akan mengundang penyakit. Selanjutnya, anak ayam akan tumbuh lebih cepat dan hidup lebih baik bila mereka ditempatkan pada kandang yang cukup luas. Tambahkan tempat pakan dan tempat minumnya sesuai kebutuhannya dengan semakin besarnya tubuh anak ayam mengikuti pertumbuhannya.

Ayam betina yang akan dipelihara untuk memproduksi telur memerlukan banyak pakan yang masih segar dan air bersih sepanjang waktu. Jangan biarkan mereka kelaparan apabila tidak menginginkan produksi telurnya mengecewakan pada saatnya bertelur nanti.

Sediakan pakan penumbuh (growing mash) yang baik di depan ayam sepanjang waktu. Air harus tetap segar dan dingin. Air mancur dijaga agar senantiasa dalam keadaan yang baik dan selalu dibersihkan setiap hari.
Saat ayam betina sedang tumbuh adalah saat yang paling baik untuk membentuk berat tubuhnya yang baik, kuat dan penuh vitalitas. Saat yang paling kritis selama hidupnya ayam betina adalah selama masa pertumbuhannya. Apabila Anda menginginkan ayam yang memberikan keuntungan, maka perhatikan bahwa mereka berkembang dengan baik selama masa pertumbuhannya.

Bersihkan semua sampah dan benda-benda aneh dari tempat pakannya setiap hari. Apabila pakan untuknya kelihatan basah pada tempat makananya, sebaiknya segera diganti. Bersihkan dan keringkan tempat pakannya sebelum diisi kembali dengan makanannya yang baru.

Tempat yang terlalu berdesak-desakan, temperatur yang terlalu panas, tempat pakan dan tempat air minum yang kurang banyak, pakan yang tidak mencukupi, dan adanya penyakit parasit merupakan sumber dari timbulnya kanibalisme. Pemeliharaan serta pengelolaan ternak ayam yang baik akan mencegah timbulnya problema kanibalisme.
Apabila anak ayam dibiarkan berkeliaran, mereka harus dilindungi dari pemakan mangsa dan ayam yang buas terutama pada malam hari. Tikus dan kutu ayam kalau dibiarkan dapat menyebabkan kontaminasi pada makanan ayam yang ahirnya dapat menimbulkan penyakit.

Pisahkan ayam betina muda dari yang lebih tua. Hal Ini akan menolong mengurangi kemungkinan menyebarnya penyakit dari induk ayam yang lebih tua ke yang lebih muda. Ayam betina dapat terkena penyakit cacing. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, terdapat sejumlah obat yang dapat dipergunakan untuk mencegah parasit pada ayam yang datangnya dari dalam. Dengan pengelolaan dan sanitasi yang baik dapat membantu mengurangi terjangkitnya parasit. Periksalah beberapa ayam betina dari waktu ke waktu untuk parasit yang datangnya dari luar seperti kutu ayam.
Tetaplah berjaga-jaga atas munculnya setiap pertanda yang menunjukkan awal timbulnya penyakit. Apabila identifikasi masalah dibuat lebih dini, maka akan lebih mudah dalam menangani dan menghilangkan masalah tersebut dari pada menunggu setelah kerusakan terjadi. Banyak penyakit yang dapat diidentifikasikan berdasarkan gejala-gejala yang ditunjukkannya.

Sebaiknya menghubungi tenaga ahli ternak ayam atau pedagang yang berkecimpung dalam usaha ternak ayam untuk memperoleh bantuan apabila menghadapi masalah penyakit pada ayam Anda.

BAB III
PENGELOLAAN AYAM PETELUR

Pengelolaan ayam petelur yang baik adalah sangat penting untuk mempeoleh tingkat produksi telur yang tinggi. Apabila ayam petelur dipupuk sebagai sumber penghasilan yang menguntungkan, maka mereka harus tumbuh berkesinambungan sepanjang masa perkembangannya. Pedoman berikut ini dapat membantu dalam mensukseskan proses pertumbuhan dan perkembangan ayam petelur selama masa pertumbuhannya:

RUANGAN – Untuk setiap 100 ayam petelur harus memiliki ruang antara 25 m2 sampai 100 m2. Sediakan 0,2 sampai 0,3 m2 per ayam apabila dibiarkan tumbuh di luar kandang.

MAKANAN – Sediakan pakan penumbuh (growing mash) yang baik di depan ayam sepanjang waktu. Pakan yang komplit dari pabrik biasanya telah mengandung semua nutrisi yang diperlukan. Pengoplosan pakan dengan menambahkan pakan dari luar (misalnya jagung) dapat menyebabkan terjadinya ketidak-seimbangan yang pada akhirnya hasil yang diperoleh akan mengecewakan.

AIR – Pada masa pertumbuhannya ayam petelur akan banyak minum dan membutuhkan banyak air untuk menjaga pertumbuhan yang normal. Air harus tetap segar dan dingin.Air mancur dijaga agar senantiasa dalam keadaan yang baik dan selalu dibersihkan setiap hari.

PENEDUH – Pada musim panas, ayam petelur akan merasa lebih nyaman apabila diberi tempat meneduh.

PISAHKAN AYAM PETELUR MUDA DARI YANG LEBIH TUA – Ini akan menolong mengurangi kemungkinan menyebarnya penyakit dari induk ayam yang lebih tua ke yang lebih muda.

TEMPAT BERTEDUH – Sediakan satu tempat berteduh yang berukuran 3 x 4 meter untuk tiap 100 sampai 125 ayam petelur.
PENCEGAHAN PARASIT – Ayam petelur dapat terkena penyakit cacing. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, terdapat sejumlah obat yang dapat dipergunakan untuk mencegah parasit pada ayam yang datangnya dari dalam. Dengan pengelolaan dan sanitasi yang baik dapat membantu mengurangi terjangkitnya parasit. Periksalah beberapa ayam petelur dari waktu ke waktu untuk parasit yang datangnya dari luar seperti kutu ayam.

LINDUNGI DARI MUSUHNYA – Yakinkan bahwa binatang pemangsa tidak dapat memasuki bangunan tempat ayam tidur di malam hari.
Saat ayam petelur sedang tumbuh adalah saat yang paling baik untuk membentuk berat tubuhnya yang baik, kuat dan penuh vitalitas. Saat yang paling kritis selama hidupnya ayam petelur adalah selama masa pertumbuhannya. Apabila Anda menginginkan ayam yang memberikan keuntungan, maka perhatikan bahwa mereka berkembang dengan baik selama masa pertumbuhannya.


BAB IV
PENGOLAHAN AYAM PEDAGING

Ayam Pedaging (Broiler) adalah ayam ras yang mampu tumbuh cepat sehingga dapat menghasilkan daging dalam waktu relatif singkat (5-7 minggu). Broiler mempunyai peranan yang penting sebagai sumber protein hewani asal ternak.
Adapun teknis Pemeliharaan dari pemeliharaan ayam pedaging ini adalah :

1.Minggu Pertama (hari ke-1-7). Kutuk/DOC dipindahkan ke indukan atau pemanas, segera diberi air minum hangat yang ditambah POC NASA dengan dosis + 1 - 2 cc/liter air minum atau VITERNA Plus dengan dosis + 1 cc/liter air minum/hari dan gula untuk mengganti energi yang hilang selama transportasi. Pakan dapat diberikan dengan kebutuhan per ekor 13 gr atau 1,3 kg untuk 100 ekor ayam. Jumlah tersebut adalah kebutuhan minimal, pada prakteknya pemberian tidak dibatasi. Pakan yang diberikan pada awal pemeliharaan berbentuk butiran-butiran kecil (crumbles).

2.Mulai hari ke-2 hingga ayam dipanen. air minum sudah berupa air dingin dengan penambahan POC NASA dengan dosis 1 - 2 cc/liter air minum atau VITERNA Plus dengan dosis 1 cc/liter air minum/hari (diberikan saat pemberian air minum yang pertama). Vaksinasi yang pertama dilaksanakan pada hari ke-4.

3.Minggu Kedua (hari ke 8 -14). Pemeliharaan minggu kedua masih memerlukan pengawasan seperti minggu pertama, meskipun lebih ringan. Pemanas sudah bisa dikurangi suhunya. Kebutuhan pakan untuk minggu kedua adalah 33 gr per ekor atau 3,3 kg untuk 100 ekor ayam.

4.Minggu Ketiga (hari ke 15-21). Pemanas sudah dapat dimatikan terutama pada siang hari yang terik. Kebutuhan pakan adalah 48 gr per ekor atau 4,8 kg untuk 100 ekor. Pada akhir minggu (umur 21 hari) dilakukan vaksinasi yang kedua menggunakan vaksin ND strain Lasotta melalui suntikan atau air minum. Jika menggunakan air minum, sebaiknya ayam tidak diberi air minum untuk beberapa saat lebih dahulu, agar ayam benar-benar merasa haus sehingga akan meminum air mengandung vaksin sebanyak-banyaknya. Perlakuan vaksin tersebut juga tetap ditambah POC NASA atau VITERNA Plus dengan dosis tetap.

5.Minggu Keempat (hari ke 22-28). Pemanas sudah tidak diperlukan lagi pada siang hari karena bulu ayam sudah lebat. Pada umur 28 hari, dilakukan sampling berat badan untuk mengontrol tingkat pertumbuhan ayam. Pertumbuhan yang normal mempunyai berat badan minimal 1,25 kg. Kebutuhan pakan adalah 65 gr per ekor atau 6,5 kg untuk 100 ekor ayam. Kontrol terhadap ayam juga harus ditingkatkan karena pada umur ini ayam mulai rentan terhadap penyakit.

6.Minggu Kelima (hari ke 29-35).Pada minggu ini, yang perlu diperhatikan adalah tatalaksana lantai kandang. Karena jumlah kotoran yang dikeluarkan sudah tinggi, perlu dilakukan pengadukan dan penambahan alas lantai untuk menjaga lantai tetap kering. Kebutuhan pakan adalah 88 gr per ekor atau 8,8 kg untuk 100 ekor ayam. Pada umur 35 hari juga dilakukan sampling penimbangan ayam. Bobot badan dengan
pertumbuhan baik mencapai 1,8 - 2 kg. Dengan bobot tersebut, ayam sudah dapat dipanen.

7.Minggu Keenam (hari ke-36-42). Jika ingin diperpanjang untuk mendapatkan bobot yang lebih tinggi, maka kontrol terhadap ayam dan lantai kandang tetap harus dilakukan. Pada umur ini dengan pertumbuhan yang baik, ayam sudah mencapai bobot 2,25 kg.


DAFTAR PUSTAKA

Budidaya Ayam Pedaging. http://teknis-budidaya.blogspot.com/. Diakses pada Tanggal 28 Oktober 2007

Cara Memelihara Ayam Negeri. http://www.peternaka.com/ Diakes pada 7 Oktober 2008

PERAN GURU DALAM INOVASI PENDIDIKAN

A.Peranan Guru
Peranan diartikan sebagai seperangkat tingkah laku atau tugas yang harus atau dapat dilakukan seseorang pada situasi tertentu sesuai dengan fungsi dan kedudukannya. Seperangkat tugas yang harus dilakukan seseorang sesuai dengan kedudukan dan harapan masyarakatnya disebut peranan yang diharapkan atau disebut ascribed role. Sedangkan seperangkat tugas kewajiban yang dapat dilaksanakan sesuai dengan kondisi yang ada merupakan peranan yang dapat dicapai atau disebut achieved role.
Secara umum banyak sekali peranan yang mesti dilakukan oleh seorang guru dalam melaksanakan tugannya disekolah. Namun peranan guru yang paling pokok berhubungan erat dengan tugas dan jabatannya sebagai suatu profesi. Tugas guru secara profesional menurut Sutan Zanti Arbi (1992:134) meliputi : tugas mendidik, mengajar dan melatih.

Sehubungan dengan tugas profesionalnya, seorang guru paling tidak harus melaksanakan peranan sesuai dengan propil kemampuannya. Dasarnya, profesional guru dalam proses belajar mengajar sebagai berikut:

a.Menguasai bahan pelajaran
b.Mengelola program belajar mengajar
c.Mengelola kelas
d.Menggunakan media dan sumber
e.Menguasai landasan-landasan kependidikan
f.Mengelola interaksi belajar mengajar
g.Menilai prestasi siswa untuk kepentingan pengajaran
h.Mengenal fungsi dan program pelayanan bimbingan dan penyuluhan
i.Mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah
j.Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil-hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran.

Radja Mudyaharto (1989:273) mengelompokkan jenis kemampuan pokok yang ideal dikuasai guru profesional kedalam 3 kelompok sebagai berikut:

1.Kemampuan membantu siswa belajar secara efisien dan efektif agar mencapai hasil optimal, kelompok ini mencakup jenis kemampuan :
a.Mengelola kegiatan belajar mengajar
b.Melakukan bimbingan siswa

2.Kemampuan menjadi penghubung (lisan) kebudayaan dan masyarakat yang aktif kreatif, dan fungsional kelompok ini mencakup jenis kemampuan:
a.Menjadi modiator kebudayaan baik sebagai pembawa kebudayaan, pemeliharaan kebudayaan, maupun sebagai pengembang kebudayaan.
b.Menjadi komunikator sekolah dan masyarakat

3.Kemampuan menjadi pendukung pengelolaan program kegiatan sekolah dan berprofesi, kelompok ini mencakup kemampuan:
a.Menjadi anggota staf sekolah yang produktif
b.Menjadi anggota organisasi profesional yang produktif.


B.Peran serta guru dalam pelaksanaan inovasi pendidikan
Seperti telah dijelaskan pada bagian lalu bahwa perubahan yang terjadi pada suatu aspek kehidupan akan menimbulkan perubahan pada aspek kehidupan lainnya. Perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi atau menimbulkan perubahan dalam bidang lain, seperti pendidikan, ekonomi dan bidang sosial budaya lainnya.

Perubahan yang terjadi dalam dunia pendidikan pada gilirannya akan berpengaruh pada guru sebagai pemegang peranan utama dalam bidang pendidikan dalam aspek-aspek serta sejenisnya sebagaimana diuraikan pada bagian lalu, bagaimanakah peran serta guru dalam inovasi pendidikan, yaitu sebagai berikut:
1.Guru bersikap terbuka dan peka terhadap perubahan dan pembaharuan
2.Guru sebagai agen pembaharuan dalam inovasi pendidikan
3.Guru sebagai adopter (penerima) inovasi pendidikan.

PELAKSANAAN INOVASI PENDIDIKAN

A.Bidang-Bidang pendidikan
Berdasarkan komponen yang ada dalam keseluruhan sistem pendidikan, terdapat banyak hal yang perlu mendapat perubahan, baik itu peningkatan, penyempurnaan, maupun perbaiakan melalui kegiatan inovasi bidang-bidang tersebut antara lain:
1)Peserta didik (pelajar)
2)Tujuan pendidikan
3)Isi bahan ajar (materi pelajaran)
4)Media pendidikan
5)Metode dan teknik komunikasi
6)Struktur dan tata laksana
7)Hasil-hasil pendidikan
8)belajar mengajar

B.Jenis-Jenis inovasi pendidikan
Jenis-jenis inovasi pendidikan menurut Santoso.s. Hamidjojo (1974) tak dapat terbilang jumlahnya, namun dapat dikelompokkan atas dasar objeknya, derajatnya dan sifatnya.

Berdasarkan objeknya yakni objek atau hal yang dikenai pembaharuan, jenis inovasi pendidikan terdiri atas 3 jenis yaitu:

1.Inovasi dalam jenis hubungan antara orang (personal relasionship) misalnya: pembaharuan dalam peranan guru, perubahan dalam laksana tata baru, yang harus berdasarkan pengambalian keputusan pada informasi dan bukan pada selera perorangan atau pemimpin.
2.Inovasi dalam jenis software (piranti lunak) misalnya perubahan atau pembaharuan mengenai tujuan dan struktur kurikulum, berbagai model sistem penyampaian (delivery sistem) dan cara-cara penilian kurikulum pendidikan.
3.Inovasi dalam jenis hardware (piranti keras) misalnya: perubahan dalam bentuk ruangan kelas dalam rangka memenuhi tuntutan baru karena terjadi pembaharuan dalam rangka antar orang, atau karena terjadi perubahan peranan guru dan adanya perubahan dalam sistemp penyampaian atau metode mengajar, adanya sistem komputerisasi, proyektor, mesin pengajaran, adanya laboratorium dan sebagainya.

Berdasarkan derajat atau tingkatannya inovasi pendidikan dikelompokkan menjadi 4 jenis yaitu :
1.Jenis pembaharuan dalam nilai atau wawasan (orientasi pendidikan)
2.Pembaharuan dalam jenis operasi tata laksana pengelolaan (manajemen pendidikan)
3.Pembaharuan dalam jenis tugas dan fungsi
4.Pembaharuan dalam jenis keahlian, ataupun kemampuan-kemampuan khusus yang dituntut dari para petugas tata laksana atau guru karena adanya perubahan dalam sistem pengajaran.

Dilihat dari sifatnya terdapat dari beberapa macam sifat-sifat perubahan yang terjadi dalam inovasi pendidikan. Huberman dalam Santoso.s. Hamidjojo (1974:30) membagi sifat-sifat perubahan dalam inovasi kedalam 6 kelompok yaitu:

a.Penggantian (substitution) misalnya: inovasi dalam bentuk penggantian jenis sekolah, penggantian bentuk-bentuk perabot, alat-alat, guru atau sistem ujian yang lama diganti dengan yang baru.
b.Perubahan (alternation) misalnya: upaya mengubah tugas guru yang trerjadi hanya bertugas mengajar, juga harus bertugas menjadi guru bimbingan atau penyuluhan.
c.Penambahan (addition) dalam inovasi yang bersifat penambahan ini tidak ada penggantian atau perubahan walaupun ada yang berubah, maka perubahan tersebut hanya berupa perubahan dalam hubungan antara komponen
d.Penyusunan kembali (restructuring), yaitu upaya penyusunan kembali berbagai komponen yang ada dalam sistem dengan maksud agar mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan dan kebutuhan.
e.Penghapusan (elimanitian) upaya pembaharuan dengan cara menghilangkan aspek-aspek tertentu dalam pendidikan atau pengurangan “komponen-komponen dalam pendidikan”
f.Penguatan (reinforcement) yaitu upaya peningkatan atau memperkokoh atau memantapkan kemampuan atau pola dan cara-cara yang sebelumnya terasa lemah.

C.Beberapa upaya pembaharuan pendidikan diindonesia
Pada bagian yang lalu telah dikemukakan bahwa dimanapun pembaharuan itu dilaksanakan, akan senangtiasa didasarkan pada kebutuhan atau karena ada masalah yang perlu segera dipecahkan sebagai upaya perubahan yang sengaja diadakan untuk meningkatkan kemampuan dalam mencapai tujuan tertentu, namun pada bagian ini sikilas akan diketengahkan beberapa jenis yang dapat kelompokkan kedalam empat rumpun, yaitu :
1.Pembaharuan dalam aspek tujuan pendidikan
Para ahli,perencana dan pengambil kebijakan pendidikan nasional telah lama berusaha mencari rumusan tujuan pendidikan, dari mulai tujuan yang sangat ideal yang dirumuskan sejak zaman revolusi kemerdekaan, zaman awal orde baru sampai pada tujuan umum yang dirumuskan pada setiap relita yang tertuang pada setiap garis-garis besar haluan negara (GBHN).

2.Pembaharuan dalam aspek struktur dan perencanaan pendidikan
Pembaharuan dalam aspek struktur dan perencanaan pendidikan berkenaan dengan upaya mengadakan perubahan, atau pembenahan, peningkatan struktur jenis dan jenjang pendidikan mulai dari pembenaran struktur sekolah, ruangan kelas dan kelompok belajar agar lebih berfungsi sesuai dengan tuntunan perkembangan sosial budaya dan polotik.

3.Pembaharuan pendidikan dalam aspek yuridis
Dalam pembukaan UUD 1945, terkandung makna bahwa dasar negara kita adalah pancasila yang menjadi dasar ideal penyelenggaraan sistem pendidikan nasional. Sedangkan UUD 1945 merupakan landasan kontitusionalnya.

4.Pembaharuan dalam aspek kurikulum
Sesuai dengan perkembangan dan perjalanan hidup sosial, ekonomi, politik, dan budaya bangsa,kurikulum pendidikan kita telah sering mengalami perubahan dan penyempurnaan, hal ini terlihat misalnya: pada zaman penjajahan Belanda, kurikulum pendidikan tampak sederhana sekali, karena tujuannya pun sederhana.

5.Pembaharuan dalam aspek teknologi pendidikan
Pembaharuan dalam aspek teknologi pendidikan muncul akibat adanya tuntutan yang terus meningkat yang tidak teratasi hanya dengan cara dan upaya pemecahannya yang kompensional dan tradisional. Contoh pembaharuan proyek teknologi komunikasi pendidikan dan kebudayaan. (TKPK)

6.Pembaharuan berbagai aspek dalam proses pendidikan
Proses pendidikan yang baik terjadi manakala tercipta interaksi edukatif dan manusiawi antara pendidikan dan peserta didektifnya. Upaya pembaharuan dalam aspek proses pendidikan yang lebih berfungsi efisien dan efektif dalam mencapai tujuan pendidikan yang diinginkannya.

Diantara upaya pembaharuan aspek proses pendidikan yang dilakukan adalah dalam bentuk berikut:
a.Penggunaan multi metode dalam pengajaran
b.Pengunaan pendekatan iguiry-discovery dan CBSA
c.Penilaian program pengajaran dan pendidikan
d.Pembaharuan yang memadukan berbagai aspek pendidikan.

KOMALA BUMI PERTIGA DAN PERANANANYA DALAM PEMERINTAHAN KESULTANAN BIMA TAHUN 1747-1751

BAB I
PENDAHULUAN


A.Latar Belakang
Bangsa yang arif dan bijaksana, akan selalu mempelajari dan memahami sejarah bangsanya untuk dijadikan cermin kehidupan hari ini dan hari yang akan datang. Sejarah selalu memperingatkan kepada kita betapa besarnya bahaya yang akan menimpa kehidupan manusia, apabila manusia melupakan dan menghianati sejarah. Bangsa yang hidup di masa silam mengalami kejayaan dan mencapai puncak peradaban yang tinggi, karena mereka selalu berguru kepada sejarah.Sebaliknya mereka akan mengalami pengunduran bahkan kehancuran apabila mereka melupakan dan menghianati sejarah.

Sebagai langkah awal untuk menyelamatkan kehidupan bangsa pada umumnya khususnya kehidupan masyarakat Bima, sebagai akibat dari sifat yang melupakan dan menghianati sejarah, maka penulis ingin menelusuri jejak sejarah Bima melalui karya ilmiah ini. Sebagai darma bakti diri terhadap bangsa dan negara, semoga kelak mendapat perhatian yang serius dari kalangan masyarakat ilmiah dan generasi muda sebagai pelanjut pembangunan daerah.

Demikian pula halnya pembangunan nasional akan berjalan dengan mulus dan berhasil dengan baik, apabila setiap daerah ikut berperan aktif dalam pembangunan nasional. Salah satu syarat untuk melakukan pembangunan adalah mereka harus mengetahui latar belakang sejarah kehidupan masyarakat di daerah itu sendiri.

Putra – putri Indonesia yang berpredikat orang Bima harus mematuhi secara jujur bahwa sampai saat ini masih banyak anggota masyarakat terutama generasi mudanya yang belum mengetahui secara utuh mengenai sejarah Bima, akibatnya mereka sering kehilangan pedoman dalam melakukan hidup dan kehidupan.

Yang paling menyedihkan ialah masih adanya orang yang beranggapan bahwa mempelajari sejarah pada hakekatnya sama saja dengan usaha menghidupkan feodalisme dan absolutisme. Mereka menyangka para Sultan, pemimpin dan para peranan dalam pemerintah kesultanan adalah merupakan tokoh-tokoh feodalistis yang memerintah secara absolut hanya duduk berpangku tangan di Singgasana Kesultanan, tanpa memperhatikan keadaan masyarakat di daerahnya.

Untuk menghilangkan akibat yang merugikan kepentingan masyarakat Bima pada khususnya dan kepentingan bangsa pada umumnya. Melalui skripsi ini Penulis mencoba menulis tentang peranan seorang wanita bernama Koma Bumi Pertiga dalam pemerintahan kesultanan Bima di tahun 1747 – 1751. Peranan beliau dalam pemerintahan kesultanan Bima pada khususnya dan pada bangsa Indonesia pada umumnya, di samping itu penonjolan seorang wanita dalam ikut berperan dan memimpin kesultanan adalah merupakan sesuatu yang cukup menarik untuk diangkat ke permukaan yang merupakan dapat dihitung dengan jari dinamika ketenaran, keberanian dan kepahlawanan seorang wanita di jaman dahulu menentang penjajahan demi memikirkan kemerdekaan dan nasib generasi anak cucu yang akan datang. Namun di dalam skripsi ini akan menelusuri sebagai kepatuhan di mana seorang wanita mampu menangani Kesultanan walau banyak tantangan, hambatan yang datang terutama mengusir penjajah Belanda di wilayah persada Dana Mbojo.

B.Rumusan Masalah
Melalui skripsi ini penulis mencoba menulis tentang peranan seorang wanita bernama Komala Bumi Pertiga dalam pemerintahan Kesultanan Bima pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Di samping itu penonjolan seorang wanita dalam ikut berperan dan memimpin kesultanan adalah merupakan sesuatu yang cukup menarik untuk diangkat kepermukaan yang merupakan dapat dihitung dengan jari dinamika ketenaran, keberanian dan kepahlawanan seorang wanita mampu menangani kesultanan walau banyak tantangan, hambatan yang datang terutama mengusir penjajah Belanda di wilayah persada dana mbojo.

Untuk lebih menelusuri jejak beliau tersebut, disini penulis akan mengetengahkan beberapa permasalahan sebagai acuan umum di dalam membahas skripsi ini. Adapun permasalahan yang dimaksud sebagai berikut :

1.Siapakah Komala Bumi Pertiga itu ?
2.Apa sajakah usaha yang dilakukan oleh Komala Bumi Pertiga dalam menjalankan roda kesultanan Bima ?
3.Sejauh manakah peranan Komala Bumi Pertiga dalam menangani roda kesultanan Bima tahun 1747-1751
4.Faktor-faktor apa sajakah yang menandai keberhasilan Komala Bumi Pertiga dalam menangani kesultanan Bima ?

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian adalah :
1.Untuk mengetahui peranan Komala Bumi Pertiga dalam Pemerintahan Kesultanan Bima tahun 1747 – 1751.
2.Upaya-upaya apa yang ditempuh oleh Komala Bumi Pertiga dalam menjalankan roda kesultanan Bima.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1.Manfaat Teoritis, yaitu dapat memberikan informasi mengenai kondisi peranan Komala Bumi Pertiga dalam Pemerintahan Kesultanan Bima tahun 1747 – 1751.
2.Manfaat Praktis, yaitu dapat memberikan kontribusi terhadap pihak yang terkait dalam memperbaiki kondisi daerah Bima di bawah jajahan Belanda pada masa pemerintahan Komala Bumi Pertiga.


BAB II
KERANGKA TEORI

A.Tinjauan Pustaka
1.Riwayat Hidup Komala Bumi Pertiga

Untuk mengetahui sejarah, baik peranan, perjuangan atau pergerekan wanita Bima sangat sulit atau sukar untuk mendapatkan bahan – bahan. Kancah perjuangan wanita di zaman yang silam, bahan – bahan yang lengkap guna menuliskan keadaan yang sejelas-jelasnya mengenai kebesaran dan keagungan srikandi Bima dalam memegang pemerintahan dan memimpin peperangan di Bima, amat sulit didapat.

Untung juga bangsa – bangsa barat banyak yang menulis sejarah Pulau Sumbawa umumnya dan terkhusus terhadap daerah kesultanan Bima dan dinamika situasi dan kondisinya, demikian pula dengan peranan, perjuangan dan pergerakan wanita Bima.

Para ahli sejarah Indonesia bekerja dengan giat guna mendapatkan bahan yang diperoleh dari bahasa Asing, terutama bangsa Belanda sendiri, walaupun bahan-bahan itu bersifat benar, tetapi sedikitnya mengandung serba sedikit jiwa orang yang menulisnya.

Mengenai sejarah peranan, perjuangan dan pergerakan wanita Bima sangat sedikit kita baca dalam buku – buku sejarah, mungkin karena yang menulis sejarah terdiri dari kaum laki – laki, umumnya yang ditulis juga tentang peranan, perjuangan dan pergerakan laki-laki. Pada kesempatan yang sederhana ini pun penulis sebagai seorang wanita mencoba menguraikan dan memaparkan dengan teliti tentang peranan srikandi Bima Komala Bumi Pertiga dalam Pemerintahan Kesultanan Bima pada tahun 1747 – 1751 ketika itu.

Pada menurut cerita-cerita orang tua – tua dahulu puteri-puteri orang Bima turut serta sepanjang hidupnya bergaul dalam lapangan politik dan pertahanan serta Agama.

Penulis merasa senang sekali dan sungguh salut, hormat dan khidmat kepada masyarakat Bima umumnya dan para mahasiswa Bima di tiap daerah tempat di mana mereka mencari pengetahuan tinggi, bila memiliki waktu senggang seperti mengangkat karya ilmiah seperti ini diharapkan dapat mengungkap dan menggali tentang sejarah peranan, perjuangan dan pergerakan tokoh-tokoh daerahnya yang ditimbulkan dalam masanya. Baik yang ditimbulkannya terjadi pada masa Naka, Ncuhi, Kerajaan maupun pada masa kesultanan, agar kelak di kemudian hari semoga mendapat perhatian dan pelajaran dari semua pihak yang ingin mengetahuinya terkhusus kepada warga Indonesia yang berdarah Bima.

Jika kita membaca atau membolak balik buku – buku sejarah, nampak wanita yang lampau seolah-olah wanita Bima tidak melakukan peranan dalam pergerakan sejarah sehingga tidak perlu menyebut nama-namanya dan peranannya yang dilakukannya sepanjang masa.

Bukan tidak ada kaum wanita yang dapat dikemukakan dalam lapangan sejarah, kaum ibu di zaman dahulu tidak berpangku tangan dan pasti kita ketemukan apabila kita turut bersama-sama menumpahkan perhatian kepada sejarah zaman yang lampau.

Penulis yakin bahwa kaum ibu di zaman yang lampau hidup penuh gairah dalam kancah perjuangan di segala bidang sesuai dengan skil dan situasi dan kondisi zamannya apabila dan semuanya memperjuangkan nasib Negara, kendatipun mereka tidak mendapat pendidikan tinggi. Wanita zaman dahulu tahu “tiap-tiap perjuangan akan memperoleh hasil yang gemilang apabila perjuangan itu dibantu oleh wanita”.

Apabila kita analisa betapa peranan, perjuangan dan pergerakan wanita Bima, terbayang bahwa dalam golongan wanita Bima yang cerdas dan cakap di berbagai bidang sanggup menjalankan tugas dalam fungsi pemerintahan dari bawah ke tingkat yang tinggi seperti halnya Komala Bumi Pertiga yang sanggup dalam memimpin kesultanan Bima selama kurang lebih lima tahun yakni dari tahun 1747 hingga 1751, selama ayahanda tercinta selaku Sultan mangkat, dan adik kandungnya yang laki sebagai putera mahkota ketika itu dalam usia yang masih relatif muda.

Di masa pemerintahan Kesultanan Bima, putrid-putri Bangsawan boleh dikatakan hamper-hampir tidak disinggung - singgung oleh guru-guru sejarah, sehingga umumnya, siswa-siswa menengah sekarang hanya mengenal dari zaman yang lampau tentang kerajaan, Kesultanan Bima melalui nama Sang Bima, Indra Zamrud, Abdul Kadir, Muhammad Alauddin, Muhammad Salahuddin dengan segala kegagahannya dan kebesarannya.

Sesudah wafatnya Sultan Alauddin Muhammad Syah karena anak lakinya masih sangat muda, dan tampuk kepemimpinan sementara dipegang oleh putri Sultan bernama Komala Bumi Pertiga, yang diperbantukan oleh Ruma Bicara Abdul Ali selaku wali atau Perdana Menteri yang juga memegang jabatan sebagai Jeneli/Camat RasanaE.

Komala Bumi Pertiga adalah seorang negarawan yang bijaksana dan mempunyai perangai yang cerdas lagi bijaksana. Rante Patola Sitti Raiya demikian sebutan akrabnya adalah seorang putrid yang tak ada bandingannya disertai sikap tindakan tegas dan tangkas, menunjukkan beliau mempunyai, memiliki sifat kepahlawanan dan kesatriaan.

Sultan Alauddin Muhammad Syah mengharapkan putrinya kawin dengan pahlawan yang memiliki watak kepemimpinan yang cerdas yang mampu menangkal dan menangkis kolonial Belanda yang menghancurkan martabat bangsa dan disamping tangkas serta cinta kepada tanah air dan agama.

2.Masa Sebelum Menjadi Bumi Pertiga
Komala adalah anak perempuan dari turunan seorang ayah yang bernama Sultan Alauddin Muhammad Syah dengan seorang Ibu bernama Karaeng Tana Sanga Mamuncaragi Ayah Komala berketurunan atau berdarah Bima asli sedangkan Ibu Komala berdarah Makassar (Gowa).

Di bawah ini penulis akan menguraikan sekilas tentang silsilah keturunan Komala Bumi Pertiga, lebih dikenal dengan sebutan Rante Patola Sitti Raiya Binti Sultan Alauddin Muhammad Syah Bin Sultan Hasanuddin Bin Sultan Jamaluddin Bin Sultan Nuruddin Abubakar Ali Syah Bin Sultan Abdul Khair Sirajuddin Bin Sultan Abdul Kahir, lebih dikenal (La Ka’i) yang merupakan Sultan Bima yang ternama dan pertama.

Dalam menguraikan awal kedatangan dan munculnya Komala Bumi Persada Dana Mbojo, yaitu diawali dengan kisah tentang hubungan Gowa dengan Bima yang merupakan suatu pertemuan yang dirahmati oleh yang Maha Kuasa sehingga ayah dan ibu Komala melaksanakan pernikahan yang pada akhirnya membuahkan karunia seorang srikandi ideal yang menjadi pejuang dan pahlawan kenamaan Bima Komala Bumi Pertiga atau lebih dikenal Rante Patola Sitti Raiya. Sehingga dalam dunia kesejarahan daerah Bima dikenal sebagai pejuang dan pahlawan kemerdekaan yang sangat berperan, berjasa dan berpengaruh dalam menjalankan roda kesultanan Bima.

Pada masa pemerintahan Kakeknya Sultan Hasanuddin, beliau selalu mengadakan hugungan dengan Sultan Gowa di Makassar, baik secara kekeluargaan sesama Sultan maupun silaturahmi keagamaan, lebih – lebih usahanya dalam peremajaan dan penyempurnaan dalam bidang pemerintahan, Sultan Hasanuddin berusaha meningkatkan kegatan dakwah. Untuk meningkatkan kesetia kawanan dengan orang – orang Makassar Sultan terus memelihara hubungan kekeluargaan yang sudah lama terjalin dengan baik. Dengan demikian Kakek Komala, Sultan Hasanuddin pun berhasil mendatangkan politisi dan para pejuang Makassar.

Pada tanggal 14 Syawal tahun 1129 H (± 20 September 1717 M), Karaeng Parang Bone dan Karaeng Bonto Mate’ne datang ke Bima. Sebaliknya Sultan pun selalu mengadakan kunjungan silaturahmi dan kekeluargaan di Makassar. Pada tanggal 11 Rabiul Awal tahun 1139 H (± 6 November 1726) beliau mengadakan kunjungan ke Makassar. Untuk kelanggengan dan keintiman hubungan dengan Makassar, pada tanggal 19 Sya’ban 1140 H (± 5 April 1727 M) Sultan Hasanuddin mengawinkan putra Mahkota Bima Alauddin Muhammad Syah dengan seorang putrid Sultan Gowa Siradjuddin, yang bernama Karaeng Tana Saga Mamuncaragi.

Dalam uraiannya Abdullah Ahmad, BA menjelaskan bahwa Komala Bumi Pertiga dan Sultan Abdul Kadim adalah anak dari Sultan Alauddin dengan Karaeng Tana Sanga Mamuncaragi. Dalam masa pemerintahan Sultan Alauddin Muhammad Syah yang ketika itu resmi menjadi Sultan Bima pada tanggal 2 Dzulhijjah 1145 H (± 9 Mei 1731 M). Komala sebagai anak pertama ketika masih remaja nampak kepeduliannya menelusuri serta meniti karier pengalaman bersama Ayahanda tercinta, yang juga masih sangat berpengaruh dan menonjol kepemimpinan dalam tahta kesultanan di Bima. Dalam waktu yang tidak terlalu lama yakni sebelas tahun dalam mendampingi, mempelajari pola kepemimpinan yang dijalankan oleh ayahnya dalam mengayomi kesultanan Bima, maka ayahanda tercinta dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, Ilahi Rabbi pada tahun 1742, dan setelah wafat dimakamkanlah di desa Daha Kecamatan Hu’u Kabupaten Dompu sekarang.


3.Masa Sesudah Menjadi Bumi Pertiga
Sesudah Komala menjadi Bumi Pertiga, situasi Indonesia ketika itu semakin tidak menentu, para Sultan atau raja di Indonesia tidak mampu lagi menjalin kerjasama yang berarti terutama dalam menghadapi Belanda.

Sebaliknya, di pihak Belanda sendiri sedang menghadapi hal yang serupa. Mereka mengalami kesulitan dalam masalah keuangan. Biaya yang dikeluarkan dalam menghadapi bangsa Indonesia cukup merepotkan Belanda.

Kondisi ketika itu Hilir menguraikan bahwa “Kekuatan ekonomi Belanda semakin bertambah, karena di kalangan pegawai Kompeni Belanda sendiri merajalela korupsi. Walaupun dari segi politik perjuangan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia pada abad ke 18 kurang berarti, namun dari segi kepentingan ekonomi, perjuangan bangsa Indonesia amat merugikan Belanda. Perjuangan Mas dan Senopati di Mataram, huru-hura yang dilakukan oleh Cina dan perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Pieter Erbeveld di Batavia, perjuangan Gusti dan Kiyai Tapa di Banten amat merugikan Belanda dalam bidang ekonomi. Demikian gambaran umum bangsa Indonesia pada masa tersebut.

Pada saat wafatnya Sultan Alauddin Muhammad Syah, Abdul Kadim sebagai Jene Teke (putar mahkota) baru berusia 13 tahun. Kekuasaan untuk sementara dipegang oleh Komala Bumi Pertiga, yang diperbantukan oleh Ruma Bicara Abdul Ali, ketika merangkap beberapa jabatan penting di dalam pemerintahan, di samping selaku Ruma Bicara dan Perdana Menteri juga sebagai Jeneli RasanaE.

Di saat kecamuknya politik pemerintahan yang sedang dihadapi oleh Kesultanan Bima yang baru ditinggalkan oleh seorang Sultan. Maka pada kesempatan yang baik tersebut muncul dan tampilnya sosok seorang srikandi ideal Komala Bumi Pertiga dengan kekuatan dan kemampuan kecerdasan dan ketangkasannya beliau mendapat kesempatan baik dari kaum sara istana di samping Ruma Bicara Abdul Ali dengan senang hati menerimanya agar jabatan dan tugas yang diembannya menjadi ringan, juga agar pengalaman dan pengetahuan yang dipelajari, didapatkan dan diwarisi oleh ayahanda tercinta Sultan Alauddin Muhammad Syah, segera direalisasikan sesuai dengan kemampuan dan ketangkasannya dalam mengikis derasnya arus politik monopoli dagang yang dilancarkan oleh Belanda.

Sebagaimana halnya Komala Bumi Pertiga yang sudah lama merasakan bagaimana pahit getirnya pengalaman seorang sultan di dalam memimpin dan mengayomi masyarakat seperti halnya yang telah dirasakan dan dialami oleh ayahanda tercinta Sultan Alauddin Muhammad Syah sewaktu bersama-sama dengan beliau di masa hidupnya.

Dari pengalaman suka duka, pahit getirnya pelajaran dan pengetahuan yang diperoleh langsung dari Ayah tercinta tersebut, maka disitulah Komala Bumi Pertiga menampakkan sifat-sifat kebumi pertigaannya, kesatriaannya dihadapan masyarakatnya.

Sangat perlu adanya uraian bahwa yang dimaksud dengan ‘Bumi Pertiga’ adalah suatu gelar yang diperuntukkan bagi Komala dimana beliau dapat mendidik dan membimbing putra putri istana, khususnya adiknya sendiri.

Hilir mengatakan bahwa sebelum menikah dengan Sultan Gowa Abdul Kudus Komala memegang jabatan sebagai “Bumi Pertiga” yaitu yang bertugas untuk mendidik dan membimbing putra putrid Sultan dalam hal ini saudara-saudaranya sendiri.

Komala Bumi Pertiga adalah seorang politikus, sebagaimana halnya dengan watak, sifat serta perangainya yang mirip dengan keadaan Kesultanan Bima dalam kepemimpinan sedang dijabat oleh kakeknya Sultan Hasanuddin ayah Sultan Alauddin Muhammad Syah.

Dengan direstuinya Komala untuk mendampingi keadaan Ruma Bicara Abdul Ali selaku Perdana Menteri dan Jeneli RasanaE, dalam menumbuhkan, mempertahankan, dan menangkis deras dan kencangnya politik monopoli dagang Belanda ketika itu. Dari situlah Komala resmi menjadi Bumi Pertiga dalam tahta kesultanan Bima, yang merupakan gelar kenamaan srikandi Bima yang mampun dan berperan dalam menjalankan roda kesultanan Bima disamping mampu mendidik dan membimbing putra putrid Sultan dalam hal ini adiknya sendiri.

Setelah menjadi Bumi Pertiga tersebut pertama kali Komala memperingatkan Sultan Abdul Kadim disamping selaku mendidik dan membimbing adiknya dengan Ruma Bicara Abdul Ali agar dengan tegas jangan dengan mudah dibujuk dan dirayu oleh kompeni Belanda terhadap daerah Manggarai. I’tikad baik dari Komala Bumi Pertiga mencampuri urusan dalam negeri Bima sebagai hasutan Belanda terhadap Abdul Kadim yang ingin menyelamatkan daerah Manggarai yang dijadikan bahan fitnahan oleh Belanda untuk mengadu domba Komala Bumi Pertiga dengan adiknya Abdul Kadim. Belanda menuduh Komala Bumi Pertiga mencampuri urusan dalam negeri Bima. Sudah jelas tindakan Belanda tidak dapat diterima oleh Komala Bumi Pertiga, yang memang terkenal anti Belanda. Pada saat itu hubungan Makassar sedang tegang Sultan Abdul Kuddus beserta permaisurinya Komala Bumi Pertiga tidak mau tunduk terhadap politik monopoli dagang Belanda. Untuk menghalangi niat Belanda yang ingin merampas Manggarai dari kekuasaan Sultan Bima, Komala Bumi Pertiga mengeluarkan pernyataan bahwa daerah Manggarai adalah milik kesultanan Gowa (Makassar).

Daerah Manggarai pada saat pernikahan ayahnya Sultan Alauddin Muhammad Syah dengan Ibunya Karaeng Tana Sanga Mamuncaragi sudah dijadikan mahar pernikahan. Oleh sebab itu menurut hukum Islam daerah Manggarai pada hakekatnya milik Kesultanan Gowa. Pernyataan Komala Bumi Pertiga tersebut, hanya merupakan siasat politik, agar Belanda tidak memaksa Sultan Abdul Kadim untuk memberikan daerah Manggarai. Dengan perkataan lain agar Makassar dapat membantu Bima dalam menghadapi Belanda dalam masalah Manggarai.

Mendengar pernyataan yang dikeluarkan oleh Komala Bumi Pertiga pada tahun 1762 Belanda menyerang Manggarai dengan alasan Manggarai bukan milik Makassar. Belanda memang licik menghalalkan segala cara untuk menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa akibat ulah Belanda. Sultan Abdul Kadim menjadi bingung, beliau heran mengapa Belanda mencampuri urusan dalam negeri Bima dan kenapa menyerang Manggarai, padahal antara Bima dan Makassar tidak ada masalah. Tujuan Belanda adalah untuk mengadu domba antara dua bersaudara. Melihat sikap Belanda, maka Komala Bumi Pertiga bersama putranya Sultan Amas Madina segera melakukan tindakan balasan dengan memboikot hubungan dagang Belanda dengan daerah lain. Para pejuang Makassar menyerang kapal – kapal dagang Belanda. Belanda berusaha menangkap Komala Bumi Pertiga bersama Sultan Amas Madina. Pada tanggal 2 Agustus 1766, Komala Bumi Pertiga bersama Sultan Amas Madina terpaksa hijrah dari Makassar menuju Bima. Selama berada di Bima Komala Bumi Pertiga memperingatkan saudaranya Sultan Kadim agar jangan mematuhi keinginan Belanda yang suka mengadu domba saudara kita.

Kehadiran Komala Bumi Pertiga bersama putranya Sultan Amas Madina amat membahayakan kepentingan politik monopoli dagang Belanda. Oleh sebab itu pada bulan April 1767, Belanda menangkap Komala Bumi Pertiga bersama putranya dengan dalih menjalin hubungan kerjasama dengan Inggris. Kemudian keduanya dibawa ke Batavia dan dibuang ke Sailon Negara Srilanka sekarang. Pada tahun 1795 kedua pejuang itu meninggal di pengasingan yang jauh dari wilayah Nusantara, mereka ikhlas mengorbankan segalanya demi nusa dan bangsa yang tercinta ini.

4.Kedudukannya Sebagai Bumi Pertiga Di dalam Menangani

Kesultanan Bima
Dalam sejarah Kerajaan Aceh Darussalam kita dapati banyak sekali tokoh-tokoh wanita yang memegang peranan penting dalam pemerintahannya dalam lembaga-lembaga negara. Sesuai dengan ketentuan Kanum Mangkuta Alam yang mengatur kedudukan wanita, di samping melihat skill dan situasi kondisi yang dihadapi oleh daerah kerajaan tersebut.

Dalam keadaan yang sama kondisi kesultanan Bima pun sebagaimana yang dihadapi kerajaan Aceh Darussalam, Bima pun demikian bisa dan dapat seorang wanita menjalankan dan mengatur roda pemerintahan kesultanan sesuai dengan peranan dan kemampuannya. Namun yang perlu diperhatikan dalam undang-undang hukum Syara’ pemerintah Kesultanan Bima, yang merupakan pengecualian khusus bahwa wanita tidak dapat menjadi seorang pemimpin dalam agama, yakni untuk menjadi Imam dalam sembahyang berjamaah, sehingga di Bima di dalam menjalankan roda pemerintahan sepenuhnya tidak dapat dilaksanakan oleh seorang wanita, disitulah letak pengecualiannya, sehingga Ruma Bicara Abdul Ali selaku Perdana Menteri yang juga menjabat sebagai Jeneli RasanaE adalah merupakan pengganti kedudukan Sultan yang bisa menduduki posisinya sebagai Imam dan pemimpin Agama dalam melakukan sembahyang berjamaah misalnya, selain dari pada itu posisi memegang peranan sepenuhnya dapat dijalankan oleh Komala Bumi Pertiga sesuai aspirasi dan metode pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh dan didapatkan dari Ayahanda tercinta Sultan Alauddin Muhammad Syah, ketika masih hidup bersama-sama dalam mengayomi pemerintahan Kesultanan Bima di saat-saat memperoleh amanah di Kesultanan ketika itu.

Jadi kedudukan Komala Bumi Pertiga di Kesultanan Bima pada saat roda pemerintahan dipegang oleh wali Abdul Ali, menurut Hilir “Komala Bumi Pertiga sebenarnya bukan Sultanah Bima, beliau adalah putri dari Sultan Alauddin Muhammad Syah dengan Karaeng Tana Sanga Mamuncaragi. Setelah dewasa Komala Bumi Pertiga menikah dengan Sultan Abdul Kuddus. Sebelum menikah Komala memegang jabatan ‘Bumi Pertiga’ yang bertugas untuk mendidik dan membimbing putra putrid Sultan dalam hal ini saudara-saudaranya sendiri.

B.Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir dimaksudkan untuk menggambarkan alur pemikiran dari seorang calon peneliti. Sehingga kelak dalam penelitian tidak mendapat rintangan atau tantangan dan lagi pula dapat memperoleh data sesuai dengan permasalahan yang dibahas.

Jika diteliti salah satu rumusan masalah yang telah ditetapkan yaitu, untuk mengetahui peranan Komala Bumi Pertiga dalam Pemerintahan Kesultanan Bima 1747 – 1751. Adapun yang ingin dicapai dalam penelitian yaitu bagaimana Komala Bumi Pertiga menjalankan roda pemerintahannya, dan upaya-upaya yang ditempuh untuk memperbaiki kondisi daerah Bima di bawah jajahan Belanda.

C.Hipotesis
1.Komala Sari Pertiga adalah seorang wanita yang berdarah Bima dan Sulawesi Selatan, yakni dari hasil perkawinan dari putra mahkota kesultanan Bima bernama Sultan Alauddin Muhammad Syah dengan seorang Ibu (permaisuri) dari puteri Sultan Gowa Sirajuddin, yang bernama Karaeng Tana Sanga Mamuncaragi.
2.Usaha adalah dengan semangat kewanitaannya beliau antara Sultan Amas Madina dan menentramkan konflik politik antara Sultan Amas Madina dari Gowa dengan Sultan Abdul Kadim dari Bima tentang daerah Manggarai yang diperebutkan dari hasil mahar Bapak dan Ibu mereka dari hasil ketajaman hasutan politik Devide At Impera (pecah belah) Belanda, yang kemudian Komala Bumi Pertiga dapat menahan dan membentengi taring-taring politik Devide At Impera Belanda yang sedang menyebarkan kuku-kukunya di Bima.
3.Selama adiknya masih berusia muda beliau berhasil menyelamatkan Bima dari ancaman Belanda, sehingga untuk melawan Belanda pun beliau menjalin hubungan dagang dengan Inggris.
4.Faktor keberhasilannya antara lain :
1.Dapat menggagalkan usaha Belanda yang ingin menguasai daerah Manggarai.
2.Dapat menggagalkan Belanda yang ingin menjalankan monopoli dagang di Bima.


Kerangka berpikir dimaksudkan untuk menggambarkan alur pemikiran dari seorang calon peneliti. Sehingga kelak dalam penelitian tidak mendapat rintangan atau tantangan dan lagi pula dapat memperoleh data sesuai dengan permasalahan yang dibahas.

Jika diteliti salah satu rumusan masalah yang telah ditetapkan yaitu, untuk mengetahui peranan Komala Bumi Pertiga dalam Pemerintahan Kesultanan Bima 1747 – 1751. Adapun yang ingin dicapai dalam penelitian yaitu bagaimana Komala Bumi Pertiga menjalankan roda pemerintahannya, dan upaya-upaya yang ditempuh untuk memperbaiki kondisi daerah Bima di bawah jajahan Belanda.



BAB III
METODE PENELITIAN

Perlu diketahui bahwa mengungkap suatu fakta dimulai dari pengumpulan data-data yang layak dipercaya. Jadi dalam hal ini, digunakan jenis penelitian, antara lain :
a.Library research (penelitian perpustakaan), yaitu pengumpulan data dengan melalui pembacaan buku-buku dan referensi lainnya yang berhubungan dengan pembahasan tersebut.
b.Field research (penelitian lapangan), yaitu pengumpulan data dengan jalan turun langsung (direct) ke obyek penelitian, dalam hal ini latar belakang pemerintahan Kesultanan Bima dan masyarakatnya.
Dalam pengaplikasian penelitian itu, dilaksanakan beberapa tehnik :
1).Observasi, yaitu dengan mengadakan peninjauan seecara langsung ke daerah yang dijadikan obyek penelitian.
2).Interview, yaitu cara pengumpulan data dengan jawaban mewancarai pihak- pihak tertentu yang dianggap mampu memberikan informasi yang orisinil terhadap obyek bahasan.
3).Dokumentasi, yaitu dengan mengumpulkan dan mencatat data, berupa dokumen – dokumen resmi yang menyangkut peranan Komala Bumi Pertiga dalam pemerintahan Kesultanan Bima tahun 1747 – 1751.

Di samping kedua jenis penelitian tersebut di atas juga digunakan metode pendekatan sejara antara lain :
1).Heuristik, yaitu dengan mencatat dan mengumpulkan sebanyak mungkin sumber tanpa memperhatikan valid tidaknya sumber tersebut.
2).Kritik, yaitu dengan mengadakan penyaringan terhadap sumber yang telah diperoleh.
3).Interpretasi/penafsiran, yaitu dengan memberikan penafsiran dan penjelasan terhadap data atau sumber yang telah disaring dan memenuhi persyaratan.
4).Rekonstruksi, yaitu dengan membangun kembali data - data yang sudah diberi penjelasan sehingga menjadi suatu cerita yang otentik.


BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.Kondisi Obyektif Kesultanan Bima Pada Masa Komala Bumi Pertiga

Untuk lebih terarahnya pemahaman, dengan mencoba melihat kondisi obyektif kesultanan Bima pada masa Komala Bumi Pertiga memegang peranan penting dalam menjalankan dan mengendalikan roda pemerintahan Kesultanan Bima. Terlebih dahulu melihat bahwa Kesultanan Bima tidak akan mungkin tumbuh dan berkembang jika seandainya pengaruh Islam tidak masuk dan berkembang di sana. Karena pada hakekatnya kesultanan tidak dapat dipisahkan laksana roh dan jasad seperti halnya kita tidak dapat memisahkan antara lahirnya kerajaan dengan datangnya pengaruh Hindu di Bima.

Untuk itu, kondisi obyektif kesultanan Bima pada masa tampuk dan roda pemerintahan Komala Bumi Pertiga 1747 – 1751 kita juga dapat mengetahui bagaimana proses tumbuh dan berkembangnya Islam itu sendiri, di mana naik turunnya keadaan Islam ketika itu adalah merupakan faktor penentu kebijakan terhadap pasang naik dan pasang surutnya kondisi pemerintahan.

Kalau dilihat dari sejarah, bahwa masuknya Islam di daerah Bima tidak terlalu banyak mendapat kesulitan dibandingkan dengan masuknya agama Hindu. Sumber yang menyangkut masuknya Islam relatif lebih banyak kalau dibandingkan dengan sumber mengenai masalah masuknya pengaruh Hindu.

Sumber yang umum dijelaskan bahwa menjelang akhir abad ke 15 dan awal abad ke 16 agama Islam masuk di Pulau Sumbawa dari arah Barat (Jawa). Menurut Babad Lombok bahwa :

Setelah Sunan Prapen meratakan agama Islam di Pulau Lombok, beliau meneruskan perjalanan ke pulau Sumbawa dalam tugas yang sama. Sejak itu kerajaan – kerajaan kecil yang menganut agama Ciwa – Budha menganut Islam. Penyebaran Islam di pulau Sumbawa berjalan dengan lancar, bahkan menurut cerita rakyat Sunan Prapen juga yang mengantarkan agama Islam sampai ke kerajaan Dompu di Sumbawa Tengah dan Bima di Sumbawa Timur.

Di samping itu, dalam sumber yang lain pun dijelaskan bahwa :
Sungguh besar jasa Sunann Giri semasa hidupnya, karena beliaulah yang mengirimkan utusan (mission secree) ke luar Jawa. Mereka terdiri dari Pelajar Saudagar, Nelayan. Pada waktu itu Giri adalah menjadi sumber Ilmu Keagamaan tersohor di seluruh tanah Jawa dan sekelilingnya. Dari segala penjuru baik dari kalangan bawah banyak yang pergi ke Giri untuk berguru kepada Sunan Giri. Beliaulah kabarnya yang menciptakan Gending Asmaradana dan Pucung. Daerah penyiarannya sampai ke Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Madura.

Cahaya Islam yang masih redup dan remang-remang yang berawal dari celupan api syiar dari tanah Jawa yatu di bawah oleh Sunan Giri, namun baik Samudra di arah utara pun Islam muncul dengan percikan sinar kesejukannya yakni dari Sulawesi Selatan yang di bawah oleh para pedagang, yang datang membawa barang dagangan berupa kalian dan keris.

Menurut keterangan dari BO yang ditulis pada 18 hari bulan Rabiul Akhir 1270
H, bahwa :
Hijratun Nabi Saw, Sanad Seribu dua puluh delapan, sebelas hari bulan jumadilawal telah datang di labuhan Sape Saudara Daeng Mangali di Bugis Sape dengan orang Luwu, Tallo dan Bone untuk berdagang. Kemudian pada malam hari datang menghadap Rumah Bumi Jara yang memegang Sape untuk menyampaikan sebuah cilo dan kain Bugis dan sepucuk surat sepupu Ruma Bumi Jara di Bone bernama Daeng Malaba. Adapun Saudaranya itu mengabarkan bahwa orang-orang itu cilo dan kain dari keris serta membawa agama Islam.

Dari beberapa uraian di atas jelaslah bahwa gambaran tentang eksistensi kesultanan merupakan suatu hal kewajaran untuk dijadikan tolok ukur suatu perbandingan terhadap pasang naik dan pasang surutnya keberadaan di suatu pemerintahan kesultanan Bima di masa Komala Bumi Pertiga memegang peranan penting dalam tampuk dan roda kesultanan Bima ketika itu.

1.Keadaan Politik Pemerintahan
Untuk mengetahui peranan Bima dalam percaturan politik, dapat kita awali dengan melihat dari perkembangan wilayah kekuasaan yang dimulai dari masa kesultanan hingga kepada wilayah kekuasaan kesultanan di mana Komala Bumi Pertiga memegang peranan penting di dalam pemerintahan kesultanan Bima. Menurut BO yang merupakan sumber data otentik sebagai pegangan para sejarawan Bima untuk mengungkapkan tentang sejarah di persada Dana Mbojo.

Adapun wilayah kekuasaan Bima tersebut menjadi :
1).Masa Pemerintahan Manggampo Donggodan Tureli Manggampo Mawaa Bilamana terdiri atas : sebelah utara laut Flores, sebelah timur sampai kepulauan Solor, Timur, Sumba dan Sawu. Sebelah Selatan lautan Indonesia, dan di sebelah barat berbatas dengan Kerajaan Bolo.
2).Masa Pemerintah Raja Mawas Ndapa Tureli Nggampo La Mbila Makapiri Solor abad XV yakni : disebelah utara berbatasan dengan Laut Flores (sampai kepulauan Tengah dan Sailus), di sebelah Timur sampai kepulauan Solor, Timur, Sumba dan Sawu, di sebelah barat berbatasan wilayah kerajaan Dompu.
3).Masa Pemerintahan wilayah kekuasaan di bawah kepemimpinan dan peranan Komala Bumi Pertiga.

Sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores, di sebelah timur sampai pada wilayah Pota, lalu ditarik garis lurus ke tenggara, menuju sungai Nanga Romo di pesisir Selatan. Di sebelah barat dibatasi oleh wilayah Kerajaan Dompu, sebelah selatan berbatasan dengan Selat Sumba dan lautan Indonesia.

Berdasarkan irama perkembangan wilayah kekuasaan Bima sejak masa pemerintahan Manggampo Donggo, Raja Mawaa Ndapa Tureli Nggampo sampai kepada masa pemerintahan kesultanan Bima di saat tampuk dan toda kesultanan dipegang oleh Komala Bumi Pertiga dan Ruma Bicara Abdul Ali selaku wali Sultan (Perdana Menteri). Maka dalam bidang politik dan pemerintahan kesultanan Bima mengalami pasang naik dan pasang surut. Pengaruh dari dalam dan dari luar amat menentukan perkembangan Bima dalam bidang politik dan pemerintahan.

Menurut Abdullah Ahmad, adanya hal-hal yang menyebabkan adanya perubahan dalam batas wilayah daerah Bima adalah sebagai berikut :

(1) Adanya perluasan karena penaklukan daerah lain oleh kerajaan Bima dengan ditaklukkannya kerajaan Bolo sehingga batas wilayah berpindah kea rah barat yakni berbatasan dengan wilayah kerajaan Dompu, sedangkan kea rah Timur sampai ke Solor, Sawu dan sebagainya.
(2) Karena adanya tekanan – tekanan dari kompeni Belanda yang takut akan adanya kekuasaaan dan sebagainya sebagaimana keberadaan kerajaan Makassar, sehingga terciptanya saingan baru dalam kancah perniagaan, sehingga dengan dalih mengadakan perjanjian dan cara penekanan lainnya, wilayah Bima dipersempit seperti hilangnya keuasaan di wilayah timur, yang meskipun ada pergantian dengan masuknya Kerajaan Sanggar dalam wilayah kekuasaan Bima.
(3) Hal-hal ini dapat kita lihat dalam transkripsi BO yang kami lampirkan serta adanya hubungan kerjasama yang baik dengan kerajaan/kesultanan di Indonesia bagian Timur seperti Kesultanan Ternate, Kesultanan Bacon, Bolang Mangondow, serta utara dan ke barat sampai ke Tanah Lombok.
(4) Hubungan-hubungan dengan Kerajaan lain ini menyebabkan Kerajaan Bima menjadi salah satu Kerajaan yang terpandang kedua di wilayah Timur selain Makassar sehingga timbul musuh baru bagi Kompeni Belanda.

Dari uraian yang telah dikemukakan di atas jelaslah bahwa politik pemerintahan serta batas wilayah kekuasaan Bima selalu mengalami pasang naik dan pasang surut yang tiada lain oleh adanya ekspedisi kekuasaan wilayah kerajaan/kesultanan yang dilakukan oleh sultan-sultan terdahulu, sehingga keadaan kondisi Kerajaan dan Kesultanan pada masa pemerintahan berkomposisi dan berstruktur seperti apa yang ada sampai saat sekarang ini.

Pemerintahan Kesultanan Bima di masa tampuk kepemimpinan dipegang dan kuasakan kerja sama dengan Komala Bumi Pertiga struktur pemerintahan dalam kesultanan dibagi dalam dua tingkat pemerintahan, yakni pemerintahan Pusat dan pemerintahan Daerah. Pemerintahan tingkat Pusat segala aktifitasnya berada dalam lingkungan Istana, sedangkan pemerintah Daerah berada dalam lingkungan daerah, di tempat di mana para Jeneli berkedudukan selaku kepala pemerintahan di daerah Kejenelian.

Di dalam organisasi pemerintahan Kesultanan Bima terdiri dari dua unsur pokok pelaksana pemerintahan dan berada langsung di bawah Sultan atau Wali Sultan. Kedua unsur pokok tersebut adalah Hadat dan Hukum.
1.Hadat adalah unsur pelaksana pemerintahan yang dipimpin oleh seorang Tureli.
2.Hukum adalah unsure pelaksana pengurusan agama Islam yang dipimpin oleh seorang Qadi’ atau Iman.

Pelaksana fungsi Hadat dalam hal tertentu, selalu mengikuti sertakan unsur masyarakat umum melalui perwakilan-perwakilan yang bernama Syara Tua. Karena itu Syara Tua lebih tampak sebagai perangkat pelengkap organisasi pelaksana tugas lembaga Hadat. Lembaga perwakilan itu hanya tampil dalam kaitan proses perumusan kebijaksanaan mengenai kepentingan masyarakat luas dan bukan sebagai perangkat pemerintah atau Hukum Islam.

Berdasarkan struktur organisasi pemerintahan yang diuraikan di atas bahwa posisi satuan organisasi dapat dilihat sebagai satu perangkat yang utuh.

Kesultanan Bima dikepalai oleh seorang Sultan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam menjalankan roda pemerintahan, Sultan (wali Sultan) tidak melaksanakan sendiri, akan tetapi sepenuhnya diserahkan kepada seorang Tureli. Tureli menjadi kepala Hadat dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari.

Dalam naskah BO. (catatan lama Istana Bima) telah disebutkan bahwa setiap Tureli adalah sebagai Wazir, dengan pengertian orang yang memahami masalah negara dan pemerintahan. Tureli tersebut akan dibantu oleh enam Tureli, sebagaimana dapat dilihat di bawah ini :
(1) Tureli Parado yang bertugas menyelenggarakan urusan Kehakiman,
(2) Tureli Woha dan
(3) Tureli Belo yang mempunyai tugas pokok melaksanakan urusan pemerintahan dan keuangan,
(4) Tureli Sakuru yang melaksanakan urusan Kesejahteraan Rakyat,
(5) Tureli Donggo dan
(6) Tureli Bolo mempunyai tugas urusan administrasi. Dalam hal melaksanakan tugasnya keenam Tureli itu dinamakan juga Majelis Tureli.

Selain ketujuh anggota Majelis Tureli sebagai sebuah Dewan Pelaksana pemerintahan, terdapat dua unsur pembantu langsung bagi pelaksanaan tugas Sultan, yakni Bumi Peranta dan Bumi Renda. Bumi Peranta sebagai kepala urusan dalam Istana membawahi enam bidang kegiatan yang terdiri dari :
(1)Bidang Pengawalan dalam Lingkungan Istana, berkaitan dengan pengawalan pelaksanaan tugas Pejabat di dalam lingkungan Istana yang dikepalai oleh seorang Bumi Nggeko.
(2)Bidang Penyiapan atau pengerahan tenaga kerja dan kelompok “dari” dalam Istana, yang dipimpin secara kolektif oleh Jena Luma Mone, Jena Luma Bolo dan Bata Sari.
(3)Bidang Pengawalan Istana yang selalu disebut dengan Mone, dikepalai oleh Ompu To’i.
(4)Bidang Mbagi Na’e, yakni bidang kegiatan yang mengurus dan mengatur pelaksanaan dan pembagian tugas para pesuruh Pejabat Istana, yang dikepalai oleh Batanggampo.
(5)Bidang Silu Genda, yakni bidang yang mengurusi kesenian dan perlengkapan Istana, dan dikepalai oleh Bumi Genda dan Silu,
(6)Bidang Bumi Ncandi yakni bidang kegiatan mengurusi produksi perlengkapan Istana yang dikepalai oleh Bumi Jero.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa pemerintahan sebagai salah satu dasar sistem sosial yang dibuat untuk manusia. Begitu Islam tidak menghendaki kekacauan dan tidak membiarkan satu jamaah tanpa pemerintahan. Oleh karena itu pemerintahan yang dijalankan oleh Islam terdiri dari beberapa prinsip yaitu “tanggung jawab pemimpin, membina persatuan umat dan menghormati hak-hak asasinya”.

Jadi dalam menjalankan kekuasaannya, pemerintah adalah amanat Allah dan kaum muslimin, yang harus diserahkan penanganannya kepada orang – orang yang takut kepada Allah, bersifat adil dan benar-benar beriman. Dan tidak seorangpun berhak menggunakannya dengan cara-cara yang diragukan atau demi kepentingan individu atau golongan. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surah An-Nisa : 58, sebagai berikut :
Terjemahannya :

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan menyuruh kamu, apabila menetapkan hukum di antara kamu, supaya kamu menetapkan dengan adil.

Ayat tersebut dapat difahami, bahwa kita kaum muslimi mempunyai tanggung jawab untuk menyampaikan dan memutuskan hukum dengan bijaksana, salah satu di antaranya adalah seorang hakim.

Pada masa pemerintahan Komala Bumi Pertiga dan Wali Sultan Ruma Bicara Abdul Ali kehadiran Islam semakin memperkuat dan memperkaya kedudukan adapt Bima yang sudah menjadi pola dasar dalam pandangan hidup sejak masa Ncuhi. Pengaruh dan idiologi Hindu dalam lembaga Hadat Kerajaan yang lemah semakin hilang. Demokrasi yang sudah tumbuh dan berkembang sejak lama Ncuhi semakin subur. Karena struktur pemerintahan berdasarkan falsafah adat dan Islam yang merupakan cukup tepat dan sesuai diamalkan dalam kehidupan pemerintahan Dou Mbojo. Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Semangat persatuan dan kesatuan yang sudah dirintis oleh para Ncuhi sejak berlangsungnya musyawarah di doro Babuju diakhir period Ncuhi, tumbuh semakin semarak karena memang Islam adalah agama yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan. Islam tidak membedakan bangsawan dan rakyat jelata semuanya di hadapan Allah SWT adalah sama yang membedakan hanyalah ketaqwaan dan amal perbuatannya.

Dalam hal ini Rasulullah sendiri telah diperintahkan untuk berlaku adil dengan tidak memilih sebagian yang lainnya, maka bukanlah watak beliau untuk bersikap fanatik adalah seseorang, tetapi hubungan dengan manusia adalah sama yaitu didasarkan pada keadilan dan kejujuran semata.

Selanjutnya Dr. Abd. Muin Salim menjelaskan dengan panjang lebar tentang prinsip struktur pemerintahan yang berprinsip keadilan yaitu :
…. Bahwa kekuasaan politik yang dimiliki oleh pemerintah adalah amanat Allah dan juga amanat dari rakyat yang telah memberikannya melalui baiat. Karena itu asas ini menghendaki agar pemerintah melaksanakan tugas-tugasnya dengan memenuhi hak-hak yang diatur dan dilindungi oleh hukum Allah termasuk di dalamnya amanat yang diembankan oleh agama dan juga dibebankan oleh masyarakat dan perorangan sehingga tercapai masyarakat yang sejahtera dan sentosa.

Sungguh Al Qur’an dan Sunnah sudah cukup jelas memberikan petunjuk – petunjuk guna menegakkan keadilan hukum, keadilan sosial dan keadilan ekonomi. Persamaan kedudukan setiap manusia dihadapan hukum tanpa terkecuali.

Di atas tentang anjuran Allah kepada Rasulullah untuk menegakkan asas keadilan adalah, bahwa Rasulullah penolong siapa yang melawan kebenaran. Dalam agamaku (Rasul), tidak ada keistimewaan – keistimewaan apapun untuk seseorang, siapapun dia dan bagaimanapun keadaannya. Demikian pula sanak kerabatku tidak mempunyai hak-hak yang lebih daripada hak-hak yang dimiliki oleh orang – orang yang jauh dariku. Tidak pula orang-orang yang penting yang memiliki keistimewaan – keistimewaan yang kurang penting. Orang-orang yang mulia dan hina dihadapanku adalah sama; kebenaran adalah hak bagi semuanya, halal adalah halal bagi semuanya, yang diwajibkan adalah wajib atas semuanya, sehingga aku sendiripun tidak terkecuali dari kekuasaan undang-undang ilahi. Abu A’la al – Maududi, Al-Khilafah wa al-Mulk, diterjemahkan oleh Muhammad al Baqir dengan judul “Khilafah dan Kerajaan”, (Cet. I, Bandung : Mizan, 1988), ha. 365. Pelaksanaan keadilan yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah tersebut, perlu dicontohkan oleh kaum muslimin generasi berikutnya untuk menegakkan keadilan yang bisa diterima oleh semua pihak. Misalnya, menurut ajaran Islam, tidak boleh ada pengaruh apapun atas para hakim dalam kedudukannya dan mereka sendiripun tidak boleh terpengaruh dengan yang bukan kebenaran dan keadilan. A. Hasjmy, Dimana Letaknya Negara Islam. (Cet. I, Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1984, h. 178.

Kegiatan musyawarah dan semangat Karawi Kaboju yang menjiwai kehidupan mereka di masa lalu itu semakin kuat, karena Islam adalah agama yang menunjung tinggi musyawarah, yang merupakan keharusan dalam Islam. Islam mengharuskan pengikutnya untuk beramal secara ikhlas tanpa pamrih. Sikap hidup yang diwarnai oleh adat yang telah dipercaya oleh ajaran Islam mewujudkan sikap dan kepribadian yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan sebagian telah diuraikan panjang lebar sebelumnya.
Sistem politik dan pemerintahan di masa Komala Bumi Pertiga, selalu berpedoman kepada adat yang sudah menyatu dengan Islam. Sultan/Wali Sultan bersama seluruh anggota lembaga hadat adalah pimpinan yang harus menjunjung tinggi kepentingan rakyat. Mereka harus mengamalkan falsafah “Toho Ra Nahu Sura Dou Labo Dana” dalam kedudukan sehari-hari Komala Bumi Pertiga sampai ke aparat yang paling rendah hidup penuh kesadaran sesuai dengan falsafah “Toho Mpara Weki Sura Dou Marinpa”.
Kehadiran Islam telah melahirkan sikap dan jiwa militan yang progresif dan tidak kenal menyerah. Keharmonisan adat dengan Islam menyebabkan pengaruh idiologi Hindu semakin tidak kelihatan dalam kehidupan masyarakat. Rakyat memiliki harga diri, mereka berani melakukan kritikan kepada para penguasa dengan cara yang sopan sesuai dengan anjuran adapt dan falsafah daerah.

Kritikan yang disalurkan dengan bahasa sastra seperti bernilai satire dan sindiran melalui patu kalero, rindo dan semacamnya. Bagaimanapun wujudnya kritikan itu, namun pada hakekatnya rakyat tetap berpedoman kepada falsafah Raja adil Raja disembah dan Raja lalim Raja disanggah.

Jiwa yang dipancari oleh Nur Islam, melahirkan sikap yang hak dan menghancurkan yang batil adalah merupakan modal dasar yang amat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan kesultanan Bima pada masa pemerintahan Komala Bumi Pertiga.

2.Keadaan Sosial Budaya Masyarakat
Keadaan social budaya masyarakat Bima dalam Kesultanan selalu diwarnai oleh sosial budaya yang berdasarkan adat dan falsafah pada masa Ncuhi, falsafah yang berpedoman kepada adat yang menunjung tinggi musyawarah dan Karawi Kaboju. Sultan/Wali Sultan adalah bukanlah titisan Dewa yang dipuja dan disembah, tetapi merupakan pimpinan yang diangkat oleh wakil rakyat yang duduk dalam lembaga Hadat berdasarkan musyawarah. Sultan/Wali Sultan harus mengabdi kepada rakyat sesuai dengan falsafah “Toho Ra Nahu Sura Dou Labo Dana” di segi lain “Sultan Adil Sultan disembah, Sultan Lalim Sultan disanggah”.

Pada masa pemerintahan Komala Bumi Pertiga dan Ruma Bicara Abdul Ali, Bima mulai ramai dikunjungi oleh kaum pendatang terutama dari Sulawesi Selatan. Setelah perjanjian Bongaya, orang-orang Sulawesi Selatan semakin bertambah banyak datang ke Bima. Para politisi, kaum militer dan pejuang Makassar datang ke Bima untuk meneruskan perjuangan melawan Belanda. Dalam waktu yang bersamaan pula orang-orang melayu yang ikut berjuang dalam melawan Belanda, terutama dalam bidang agama. Hal ini mempengaruhi social budaya masyarakat Bima. Sosial budaya Sulawesi Selatan dan Melayu yang diwarnai oleh ajaran Islam. Penduduk Bima semakin berkembang dan bervariasi sesuai dengan perkembangan zamannya.

Secara kronologis penduduk Bima dapat dibagi sebagai berikut :
a.Dou Donggo (Orang Donggo)
Dou Donggo adalah penduduk Bima yang tidak mau menerima pengaruh dari luar terutama pada masa awal mula kesultanan. Karena latar belakang politik dan agama mereka pindah ke daerah pegunungan. Oleh sebab itu mereka disebut Dou Donggo, Dou = Orang, sedangkan Donggo = Gunung. Dalam perkembangan selanjutnya mereka dianggap sebagai penduduk asli Bima. Berdasarkan daerah pemukimannya Dou Donggo dapat dibagi dua kelompok :

(1).Dou Donggo Ele (Orang Donggo Timur)
Mereka mendiami dataran tinggi di sekitar kaki gunung Lambitu di wilayah Bima Tengah (sekarang wilayah Kecamatan Wawo Tengah). Orang Donggo Ele terdiri dari orang Kuta, Sambori, Tarlawi, Kalodu, Kadi, Kaboro. Mereka mempunyai adapt istiadat dan bahasa yang berbeda-beda dengan Dou Mbojo (Orang Bima).

Mata pencaharian mereka pada umumnya adalah berburu dan mengadakan perladangan berpindah-pindah, namun perkembangan demi perkembangan dengan adanya kaum pendatang, pengusaha dan pedagang dari Sulawesi Selatan dan daerah lainnya, mereka pun ikut berdagang sebagai pencaharian mereka.

Pada mulanya (masa kerajaan) mereka enggan menerimaa ajaran Islam, tetapi setelah datangnya masa kesultanan dan perkembangan kehidupan yang dialami mereka pun semakin meningkat, maka mereka menganut ajaran Islam walaupun pengaruh kepercayaan lama masih ada.

(2).Dou Donggo Ipa (Orang Donggo Seberang)
Dou Donggo Ipa mendiami daerah pengunungan di sebelah barat teluk Bima, sekarang termasuk wilayah Kecamatan Donggo. Pada mulanya Dou Donggo Ipa mempunyai adat istiadat, bahasa yang berbeda dengan Dou Mbojo. Tetapi pada masa sekarang adapt – istiadat mereka sudah baur dengan adat istiadat Dou Mbojo (Orang Bima).

Mata pencaharian mereka adalah suka berburu, berladang berpindah-pindah (nomaden), selain itu mereka juga telah mengenal berdagang dan sebagai pengusaha mengikuti jejak pendatang dari Makassar dan Bugis.

b.Dou Mbojo (Orang Bima)
Dou Mbojo berasal dari penduduk Bima yang melakukan pembauran (berasimilasi) dengan orang Sulawesi Selatan pada awal Kesultanan.

Sejak berdirinya kesultanan Bima pada tahun 1633 hubungan Bima dengan Makassar dan Sulawesi Selatan lainnya banyak yang datang dan bertempat tinggal di Bima. Jumlah mereka semakin banyak, setelah perjanjian Bongaya pada tahun 1667, para pejuang Makassar dan Bugis akhirnya mengadakan pembauran dengan orang Bima yang sudah menganut agama Islam. Masyarakat yang lahir dari pembauran dengan orang Bima yang sudah menganut agama Islam, masyarakat yang lahir dari pembauran itu disebut Dou dengan Dou Mbojo.

Adat istiadat serta bahasa Dou Mbojo, merupakan perpaduan adapt istiadat, dari bahasa Bima dengan Makassar, Bugis dan Sulawesi Selatan lainnya. Dou Mbojo merupakan penganut agama Islam yang taat, sebab itu adapt istiadatnya diwarnai oleh ajaran Islam.

c.Kaum Pendatang
Dou Malaju (Orang Melayu) dan Dou Ara (Orang Arab) yakni orang yang dianggap kaum pendatang di Bima. Adapun latar belakang kehadiran mereka “Dou Malaju dan Dou Ara” hamper sama dengan latar belakang kedatangan orang Makassar, Bugis. Mereka datang ke Bima pada awal masa kesultanan dalam rangka penyiaran Islam dan berdagang.

Pada masa tampuk dan roda pemerintahan kesultanan dipegang oleh Ruma Bicara atau Perdana Menteri Abdul Ali bersama Komala Bumi Pertiga mereka banyak yang menjadi ulama, muballigh dan bahkan menduduki jabatan dalam lembaga Syara’ Hukum yang merupakan bahagian dari Majelis Hadat. Kedudukan mereka sebagai ulama dan muballigh, menyebabkan Komala Bumi Pertiga dan masyarakat menghormatinya. Pada awal kesultanan pun peranan ulama Melayu dan Arab amat besar dalam penyebaran Islam di Bima.

Sampai sekarang Dou Malaju dan Dou Ara mempunyai perkembangan khusus yang terletak di pesisir utara kota Bima yang terkenal dengan nama Kampo Malayu dan Kampo Bente.

3.Keadaan Agama
Mengacu dari uraian terdahulu, bahwa kesultanan Bima merupakan proses pertumbuhan dan perkembangan dari pemerintahan yang berasaskan Islam pada awal mulanya dibangun dan dikokohkan oleh Sultan Bima yang pertama La Ka’I lebih dikenal Abdul Kadir yang selanjutnya diikuti pula oleh Sultan-Sultan berikutnya, seperti halnya di masa peranan memegang, mengemudi dan menjalankan roda kesultanan tersebut, masing – masing memiliki corak dan model serta gaya tersendiri di dalam memimpin kesultanan tersebut.

Sebagaimana halnya Bima di masa Komala Bumi Pertiga memegang peranan penting dalam tampuk pemerintahan, maka keadaan agama tidak jauh berbeda keadaan agama Islam sebelumnya yang pernah mengakar pada masa kepemimpinan Sultan sebelumnya. Namun agama Islam yang tumbuh dan berkembang di Bima ketika itu adalah merupakan agama menyeluruh yang dianut oleh masyarakat Dou Mbojo.

Di masa pemerintahan Komala Bumi Pertiga, agama mayoritas masyarakat adalah merupakan campuran darah dan turunan asli kesultanan Bima dengan kesultanan Gowa.

B.Peranan Komala Bumi Pertiga Dalam Pemerintahan Kesultanan Bima
1.Peranannya Dalam Menjalankan Roda Kesultanan Bima
Waktu terus berlalu, zaman terus berganti, iklim politik terus berkembang dan berubah sesuai dengan perkembangan dan perjalanan roda zaman. Tetapi Belanda tetap berusaha untuk menguasai dan menjajah kesultanan Bima. Oleh sebab itu hubungan Bima dengan Belanda tidak pernah bersahabat. Seirama dengan perjalanan sejarahnya wanita Bima tidak pernah absen dalam menghadapi penjajah Belanda, baik wanita desa maupun wanita Istana sudah silih berganti turun ke medan laga, ada yang meraih kemenangan ada pula yang kalah dan menderita dan tidak sedikit yang mati disiksa di daerah pembuangan, sebagaimana halnya dengan Komala Bumi Pertiga, yang menurut album sejarah Bima pada akhir peranan dan perjuangannya dalam melawan Belanda, beliau dibuang ke negeri Sailon sekarang dikenal Srilangka dan wafat di sana.

Di dalam album sejarah bangsa sudah tertulis dengan tinta emas nama-nama Srikandi Indonesia yang disegani dan dikagumi oleh kawan maupun lawan. Semua musuh pasti akan gentar disertai kekaguman kalau menyaksikan keberanian Srikandi Indonesia kelahiran serambi Mekkah yang bernama Tjut Nya Dien semua kawan dan lawan pasti mengakui keluhuran dan kemuliaan cita-cita tokoh emansipasi wanita R.A. Kartini dan Dewi Sartika. Demi mengembalikan harkat dan martabat kaum wanita dan bangsa umumnya, pendekar kaum ibu berjuang dengan gagah perkasa tanpa mengindahkan resiko yang menimpa.

Walaupun peranan wanita amat mulia dan luhur serta amat menentukan bagi kehidupan bangsa, namun masih banyak diantara kita terutama generasi muda yang belum mengetahui secara utuh mengenai peranan wanita di masa lalu, terutama peranan wanita Bima. Generasi muda masih banyak yang belum mengetahui bahwa kaum wanita Bima pada masa silam telah berperan secara aktif di atas pentas sejarah bangsanya. Mereka tidak mengetahui bahwa kaum wanita Bima pada masa lalu telah mampu mengukir sejarah yang indah bagi daerahnya bahkan bagi bangsanya.

Oleh Hilir menjelaskan bahwa pada abad 17 M tampil beberapa pejuang wanita Bima yang dengan gigih melawan penjajah Belanda, seperti antara lain Karaeng Bonto Je’ne, Komala Bumi Pertiga. Pada awal abad ke 20 M tampil pula srikandi yang dengan gagah berani maju ke medan laga dengan persenjataan Lira melawan Belanda. Seperti antara lain, Dua Dau dan Dua Masu.

Bagaimana ujud perjuangan dan peranan wanita Bima, terutama peranan Komala Bumi Pertiga di masa lalu adalah amat ditentukan oleh pandangan hidup yang sesuai dengan sistem politik dan pemerintahan, agama dan sosial budaya pada zamannya. Wujud peranan wanita Bima baik dalam melawan penjajah maupun dalam mempertahankan kemerdekaan, mungkin akan berbeda dengan cara yang dilakukan oleh kaum wanita di daerah lain, namun tujuan yang akan dicapai adalah sama. Seluruh wanita Indonesia ingin membela kemerdekaan hak dan harga diri demi terwujudnya negara Indonesia merdeka yang berdaulat.

Pada masa roda kesultanan Bima dikemudi dan dijalankan oleh Komala Bumi Pertiga dan didampingi oleh wali Sultan Ruma Bicara Abdul Ali, Komala cukup memberikan hak dan peluang kepada masyarakat (rakyat) untuk menyalurkan aspirasi terhadap perkembangan demi perkembangan yang terjadi di dalam sama-sama menghadapi kondisi Belanda yang ingin menjalankan politik monopoli di samping mengadu domba antara pemerintahan kesultanan Bima dengan Makassar tentang daerah Manggarai yang sudah dijadikan mahar dalam perkawinan antara Sultan Alauddin Muhammad Syah dengan Karaeng Tana Sanga Mamuncaragi. Dengan menelusuri jejal perjuangan dan peranan Komala Bumi Pertiga dalam pemerintahan, baik di saat didampingi oleh wali Sultan Ruma Bicara Abdul Ali maupun di masa adiknya Abd. Kadim menginjak usia cukup dewasa, mengambil kembali tampuk pemerintahan, peranan beliau cukup nampak terlihat dan akan diingat selalu oleh zaman yang merasakan dan menikmati daerah Bima yang sudah bebas dan merdeka ini. Kisah perjalanan hidup sampai wafatnya Komala Bumi Pertiga berperan dalam kancah politik pemerintahan kesultanan Bima, penulis akan mencoba menguraikan kilasan panjang lebar di bawah ini.

Sebagaimana diuraikan terdahulu bahwa Komala Bumi Pertiga adalah puteri dari Alauddin Muhammad Syah Sultan Bima ke IV dengan permaisurinya Karaeng Tana Sanga Mamuncaragi, puteri Sultan Makassar Sirajuddin. Komala Bumi Pertiga menikah dengan Sultan Makassar Abdul Kuddus yang memerintah tahun 1742 – 1753.

Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Kadim Sultan Bima ke VII adik dari Komala Bumi Pertiga yang sebelumnya menjadi Jeneli/Camat Sape. Belanda berusaha memaksa Sultan yang baru berusia 13 tahun agar mau menyerahkan daerah Manggarai. Mengetahui i’tikad tidak baik tersebut, Komala Bumi Pertiga memperingatkan Sultan Abdul Kadim bersama Ruma Bicara Abdul Ali tadi yang masih merangkap sebagai Wali Sultan (wakil Presiden), agar hati-hati terhadap Belanda. I’tikad baik dari Komala Bumi Pertiga yang ingin menyelamatkan daerah Manggarai dijadikan bahan fitnahan oleh Belanda untuk mengadu domba Komala Bumi Pertiga dengan adiknya Sultan Abdul Kadim. Belanda menuduh Komala Bumi Pertiga mencampuri urusan dalam negeri Bima. Sudah jelas tindakan Belanda tidak dapat diterima oleh Komala Bumi Pertiga, yang memang terkenal anti Belanda. Pada saat itu hubungan Makassar dengan Belanda sedang tegang Sultan Abdul Kudus beserta permaisurinya Komala Bumi Pertiga tidak mau tunduk terhadap politik monopoli dagang Belanda. Untuk menghalangi niat Belanda yang ingin merampas daerah Manggarai dari kekuasaan Sultan Bima, Komala Bumi Pertiga mengeluarkan pernyataan bahwa daerah Manggarai adalah milik Kesultanan Makassar.

Daerah Manggarai pada saat pernikahan ayahnya Sultan Alauddin Muhammad Syah dengan ibunya Karaeng Tana Sanga Mamancaragi sudah dijadikan mahar pernikahan. Oleh sebab itu menurut hukum Islam daerah Manggarai pada hakekatnya adalah milik Kesultanan Makassar. Pernayataan Komala Bumi Pertiga tersebut, hanya merupakan siasat politik, agar Belanda tidak memaksa Sultan Abdil Kadim untuk memberikan Manggarai. Dengan perkataan lain agar Makassar dapat membantu Bima dalam menghadapi Belanda dalam masalah Manggarai.

Mendengar pernyataan yang dikeluarkan oleh Komala Bumi Pertiga tersebut, menurut Hilir adalah sebagai berikut :

Pada tahun 1762 Belanda menyerang Manggarai dengan alasan Manggarai bukan milik Makassar. Belanda memang licik mengunakan segala cara untuk menghancurkan persatuan dan kesatuan Bangsa / akibat perbuatan Belanda, Sultan Abdul Kadim menjadi bingung. Beliau heran, kenapa Belanda mencampuri urusan dalam negeri dan kenapa menyerang Manggarai, padahal antara Bima dan Makassar tidak ada masalah. Tujuan Belanda adalah untuk mengadu domba antara dua bersaudara.

Melihat sikap Belanda diatas, Komala Bumi Pertiga bersama putranya Sultan Amas Madina melakukan tindakan balasan dengan memboikot politik monopoli dagang Belanda. Komala Bumi Pertiga berusaha memboikot hubungan dagang Belanda dengan daerah lain. Para pejuang Makassar menyerang kapal – kapal dagang Belanda. Belanda berusaha menangkap Komala Bumi Pertiga bersama Sultan Amas Madina. Pada tanggal 2 Agustus 1766, Hilir menambahkan bahwa Komala Bumi Pertiga dan putranya Sultan Amas Madina terpaksa hijrah dari Makassar ke Bima. Selama berada di Bima Komala Bumi Pertiga memperingatkan saudaranya Sultan Abdul Kadim agar jangan mematuhi isi kontrak panjang pada tanggal 9 Februari 1765.

Kehadiran Komala Bumi Pertiga bersama putranya Sultan Amas Madina amat membahayakan politik monopoli dagang Belanda. Oleh sebab itu pada bulan April 1767, Belanda menangkap Komala Bumi Pertiga bersama putranya dengan dalih menjalin hubungan dengan Inggris. Kemudian keduanya dibawa ke Batavia dahn dibuang ke Sailon ( Negeri Srilanka sekarang ).

Pada tahun 1795 kedua pejuang itu meninggal dipengasingan yang jauh dari wilayah Nusantara, mereka ikhlas mengorbankan segala – galanya demi “Dou Labo Dana”. Walaupun jenasahnya luluh dan batu nisannya sudah sirna ditelan zaman, namun semangat juangnya tetap hidup pada sesudahnya, semoga amal bakti diterima disisi Allah SWT. Insya’ Allah Amin.

2.Usahanya Dalam Bidang Agama.
Eksistensi Islam sungguh semakin memperkuat dan memperkaya kedudukan adat Bima yang sudah menjadi dasar dan pandangan sejak masa Ncuhi. Pengaruh dan Ideologi Hindu dalam lembaga semakin hari semakin lemah dan berkurang. Demokrasi yang berkembang sejak masa Ncuhi dengan mendapat angin segar karena Islam adalah agama yang menjunjung tinggi kebebasan dan hak asasi manusia.

Semangat persatuan dan kesatuan yang sudah dirintis oleh para Ncuhi sejak musyawarah tumbuh semakin semarak. Karena memang Islam adalah agama yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan. Islam tidak membedakan antara kaum bangsawan dan rakyat jelata semuanya sama tingkatan dihadapan Tuhan, yang membedakan diantara manusia adalah tingkat ketakwaan. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surah Al Hujurat ayat 13 yang artinya :

"Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu"

Ayat tersebut diatas memberikan gambaran bahwa Allah SWT. tidak membeda – bedakan hambanya kecuali hamba – hambanya yang benar – benar beriman kepadaNya.

Sejarah telah mencatat dan bercerita kalau dizaman pemerintahan Sultan Bima pertama Abdul Kahir, pancaran sinar Islam mulai mengakar, tumbuh dan berkembang ditanah persada Dana Mbojo. Dengan langkah awal munculnya Islam tersebut, langsung menerobos sum – sum pelosok daerah Kesultanan setempat.

Sebagai konsekuens logis dari keadaan tersebut maka La Ka’i hijrah ke Makassar yang disambut gembira oleh Raja Makassar dibawah bimbingan para Ulama Minang yaitu Datuk Ri Bandang dan Datuk Di Tiro untuk memperdalam ilmu agama dan Tassauf serta militer.

Setekah sekemnbalinya dari Sulawesi Selatan untuk mendapat ilmu agama dan Tassauf dari kedua gurunya tersebut Abdul Kahir berupaya sesuai pesan gurunya secara maksimal untuk meletakkan asas – asa yang kokoh pada Kesultanan Bima, terutama sekali dalam usaha penyiaran agama Islam, dalam hal ini Bapak M. Yusuf menambahkan : tiada lain demi mewujudkan rasa solidaritas sesama manusia. Kelihatan sekali ingin menerapkan pemerintahan Islam secara nomatif, tanpa memandang suku.

Dari uraian tersebut diatas jelaslah bahwa pertama kali munculnya Islam dipersada Dana Mbojo, langsung menerobos dan menerangi hati dan jiwa tokoh – tokoh Istana dan masyarakat umum, sehingga tidaklah heran kiranya pada masa kesultanan Bima oleh wali Sultan Ruma Bicara Abdul Ali9 selaku perdana menteri, peranan Komala Bumi Pertiga dalam bidang agama berjalan dengan baik. Dimana keadaan politik pemerintahan pada saat itudalam keadaan agak lemah, disebabkan oleh karena Jena Teke (Putra Mahkota) Abdul Kadim berusia masih sangat muda dan Belanda pun menccoba menginjakkan kakinya di Bima, namun yang menjadi harapan adalah keadaan agamalah yang merupakan bekal yang dapat membantu membentengi dan menanggulangi akidah dan kekuatan mental rohaniyah masyarakat.

Faktor penentu kebijakan yang menjadi tumpuan dan harapan masyarakat menghadapi kondisi penjajah Belanda tersebut tiada lain adalah semangat jihad yang telah berkobar dalam dada, dan diyakini bahwa Belanda adalah merupakan bangsa yang tidak disunat dan dicap sebagai orang kafir. Ini suatu pertanda perasaan berTuhan yang dimiliki oleh Dou Mbojo sangat tinggi, sesuai dengan falsafah Tohora Nahu Sura Dou Ma Rimpa, ini berarti menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia merupakan faktor utama dalam masyarakat Dou Mbojo untuk saling menghargai pendapat.

Dengan demikian, pengamalan dan realisasi keagamaan yang dimiliki oleh masyarakat dimasa itu adalah menjadi kenyataan. Komala Bumi Pertiga telah memilih masyarakat Islam yaitu masyarakat yang lahir dengan munculnya Islam, kemudian meraih kekuasaan politis terhadap nilai – nilai Islam.

Islam menganggap pemerintahan sebagai salah satu dasar sistem sosisal yang dibuat untuk manusia. Begitu juga Islam tidak menghendaki kekacauan dan tidak membiarkan satu jamaah tanpa pemerintahan. Oleh karena itu pemerintahan yang dijalankan oleh Islam terdiri dari beberapa prinsip yaitu “tanggung jawab pemimpin, membina persatuan umat dan menghormati hak – hak asasinya”

Dari uraian diatas dapat dipetik penjelasan bahwa didalam menjalankan kekuasaannya, pemerintah adalah amanat Allah, yang harus diserahkan dan diusahakan penanganannya kepada orang – orang yang takut kepada Allah, bersifat adil dan benar – benar beriman kepadaNya.

Setiap Sultan atau Raja didalam memimpin dan perannya didalam kesultanan sudah barang tentu ada usaha dan target yang diharapkan, demikian pula halnya kesultanan Bima dibawah peranan Komala Bumi Pertiga. Dalam hal ini menurut A. Gani, bahwa usaha Komala Bumi Pertiga dibidang agama adalah membantu Bimadalam usaha penyiaran agama diwilayah Nusa Tenggara Timur, beliau bersama suaminya Abdul Kudus mengirimkan para ulama dan pedagang Makassar ke daerah – daerah taklukan Bima.

Dari komitmen diatas jelaslah bahwa usaha Komala Bumi Pertiga dalam pemerintahan Kesultanan Bima khususnya dibidang agama cukup berhasil, dimana dalam kondisi yang cukup sulit dan kondisi yang tidak terlalu memungkinkan beliau masih sempat dan sanggup mengekspos (mengutus dan mengirim) para muballiqh untuk menyiarkan agama Islam ke daerah – daerah yang telah ditaklukan oleh Bima.

Suatu hal yang wajar dan logis kiranya bila masyarakat dapat menghormatidan perhatian yang besar terhadap jasa – jasa yang ditinggalkannya sesuai dengan pengalaman dan kemampuan sebagai seorang wanita, dan pantas pual mendapat gelar dimasa itu dengan sebutan Bumi Pertiga. Sehingga terlihat dengan jelas dari hasil nukilan sejarah kemajuan dan perkembangan Islam didaerah Bima baik dimasa peranan sebagai Bumi Pertiga lebih – lebih dengan adanya potret Islam di Kabupaten Bima hingga saat sekarang ini, ini semua tidak lain adalah jerih payah dan usahanya.

3.Faktor – Faktor Keberhasilan Komala Bumi Pertiga Dalam Menangani Kesultanan Bima.
Belum dikatakan berhasil seseorang apabila belum menghadapi masalah dan cobaan yang besar pada dirinya. Masyarakat manusia yang merasa haus sudah tentu membutuhkan air minum untuk diminum, yang lapar butuh makanan untuk dimakan, yang loyo butuh tenaga agar bergairah dalam menempuh dan menghadapi kegiatan dalam kehidupannya. Demikian pula halnya dengan setiap usaha pasti ada hasilnya, banyak atau sedikit tergantung sungguh dari besar kecilnya usaha yang dilakukannya.

Komala Bumi Pertiga selaku sosok srikandi ideal yang cukup berperan dalam dunia kesultanan Bima. Cukup berarti kiranya pemerintah kesultanan Bima ketika itu memberikan gelar kepadanya dengan ”Bumi Pertiga” disamping mendidik dan membimbing putra – putri Sultan, juga mampu menjalankan dan menanggulangi situasi dan kondisi kesultanan yang sedang huru – hara politik monopoli dagang Belanda. Demikian usaha yang diraihnya.

Kehidupan pemerintahan disuatu daerah tidak terlepas dari gagasan – gagasan kedaerahan dan bahkan kenegaraan yang hidup dalam masyarakat daerahnya, yaitu masyarakat manusia yang menjunjung tinggi harkat dan martabat serta hak asasi manusia. Dalam masalah – masalah hendaknya difahami, bahwa pada hakekatnya manusia itu adalah pengemban dan pelaksana ide yang tumbuh dan berkembang di daerah pemerintahan kesultanan tersebut. Seperti halnya dalam kehidupan perjuangan, pengalaman dan peranan Komala Bumi Peritga, sikap hidup, pola tingkah laku dan tindakan – tindakannya tidak dapat dilepaskan dari usaha serta ide yang menjiwai sikap hidup, pola tingkah laku dan tindakan – tindakannya tadi.

Dari uraian tersebut diatas dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa, keberhasilan Komala Bumi Pertiga dalam menangani dan menjalankan roda kesultanan Bima, menurut H. Abd. Muthalib adalah sebagai berikut :

(1) Dimana Abdul Kadim sebagai Jena Teke (Putra Mahkota) yang berhak menyandang, menaiki dan menduduki tahta kesultanan masih sangat muda, disamping untuk sementara waktu menduduki atau menjabat sebagai Jeneli / Camat Sape.
(2) Ruma Bicara Abdul Ali selaku sebagai Sultan terlalu banyak menjabat, merangkap jabatan, disamping sebagai wali Sultan dan Perdana Menteri(Penasehat Sultan), juga bertugas sebagai Jeneli RasanaE, sehingga dalam menjalankan roda kesultanan sukar baginya menjalankan dengan baik.
(3) Komala Bumi Pertiga, adalah turunan Sultan (anak kandumng Sultan), beliau juga memiliki watak dan perangai kesatria, kecerdasan yang juga banyak mengunyak asam garam dari ayahandanya Sultan Alauddin Muhammad Syah, beliau juga memiliki watak politikus sebagaimana halnya dengan kakek beliau Sultan Hasanuddin.
(4) Adanya kecintaan masyarakat Dana Mbojo disisi lain, namun suatu ketentuan yang ketat yang merupakan sudah menjadi ketetapan hukum Syara’ sebelumnya bahwa seorang wanita tidak dapat bertindak sebagai Imam didalam melakukan sembahyang berjamaah. Disinilah letak posisi pengecualian pada diri Komala Bumi Pertiga, namun bukan suatu halangan dan rintangan, terhadap ketentuan hukum Syara’ tersebut untuk dapat memegang peranan dalam pemerintahan kesultanan Bima

Dengan melihat hasil uraian tersebut bahwa Komala Bumi Pertiga memiliki kedudukan dan posisi yang dalam mencelupkan suatu karya dan pengalaman dalam pemerintahan kesultanan Bima, namun satu – satunya merupakan pengecualian yang bukan menjadi halangan guna memegang peranan adalah wanita tidak dapat memimpin sebagai Imam dalam sembahyang berjamaah.

Disisi lain yang merupakan tidak kurang pentingnya, bahwa keberhasilan yang telah dicapai oleh Komala Bumi Pertiga selama memegang peranan daolam tahta kesultanan Bima adalah sebagai berikut :


(a)Dapat menggagalkan usaha Belanda yang ingin menguasai Manggarai.
(b)Dapat menggagalkan Belanda yang ingin menjalankan monopoli dagang di tanah Bima.



BAB V
PENUTUP

A.KESIMPULAN
Dari Bab I hingga Bab IV, sampailah saatnya beranjak pada Bab V yakni Bab Kesimpulan.
Adapun yang dapat disimpulkan dari awal hingga akhir dari uraian dan penjelasan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1.Komala Bumi Pertiga, seorang wanita berdarah Bima dan Makassar, yakni anak dari Sultan Bima Alauddin Muhammad Syah dengan permaisurinya Karaeng Tana Sanga Mamuncaragi, putri Raja Gowa Sirajuddin.
2.Usaha – usaha yang dilakukannya antara lain :
(a)Dalam bidang agama, beliau mengutus dan mengirim muballiqh untuk menyiarkan agama Islam ditiap – tiap daerah taklukan Bima.
(b)Dalam bidang kepemerintahan, disamping dapat menggagalkan Balanda yang ingin menguasai Manggarai, juga menggagalkan Belanda yang ingin menjalankan monopoli dagang di Bima.
3.Selama adiknya masih berusia muda, beliau berhasil menyelamatkan Bima dariancaman Belanda.
4.Penyandangan gelar ”Bumi Pertiga” adalah merupakan diperuntukkan kepadanya, guna dapat mendidik dan membimbing putra putrinya dalam hal ini saudaranya sendiri.

B.SARAN – SARAN
1.Kepada sejarawan dan generasi muda pelanjut perjuangan masa depan, penulis sarankan agar meneruskan penulisan sejarah daerah yang telah dirintis oleh penulis – penulis terdahulu. Karena usaha semacam itu sangat besar manfaatnya, terutama bagi generasi muda pelanjut perjuangan karena dengan memahami dan mengamalkan nilai – nilai sejarah masa lampau, sekarang dapat berbuat yang lebih baik.

2.Kepada tokoh masyarakat di daerah tingkat II Bima, yang telah mencoba mendokumentasikan peristiwa – peristiwa masa lampau daerah Bima, penulis sarankan agar menggiatkan meningkatkan usaha itu untuk mendapatkan fenomens – fenomens baru sekitar masa lampau daerah tersebut. Karena tidak sedikit jumlah sumber sejarah daerah yang masih yang masih terpendam yang belum diabadikan secara tertulis.

3.Kepada pemerintah serta segenap unsur jawatan yang berkompoten didaerah Tingkat II Bima disarankan, agar dapat mencurahkan perhatian kearah penulisan sejarah. Untuk itu, langkah – langkah yang perlu diambil, antara lain memelihara peninggalan – peninggalan sejarah masa lampau, serta memberikan fasilitas bantuan pada usaha penulisan sejarah daerah tersebut.

Demikianlah kesimpulan dan saran – saran yang dapat dikemukakan, semiga bermanfaat dalam rangka peningkatan hidup kemanusiaan dan pembangunan bangsa dan negara ini.


DAFTAR PUSTAKA

Al Qur’anul Kariem.
Abdullah, Achmad, BA. Kerajaan Bima dan Keberadaannya, Terbit : Maret 1992 ; Bima, 1992.

Amin, Ahmad. Sejarah Bima dan Sejarah Pemerintahan Serba-Serbi Kebudayaan Bima, Terbit : Maret 1982.

Abdullah, Tayeb, BA. Peranan Agama Islam Terhadap Kehidupan Sosial Budaya Bima Terbit : 1982 di Bima tahun 1982.

A-Maududi, Abul A’la. Al-Khilafah Wa al Mulk. Diterjemahkan oleh Muhammad Baqir dengan judul ”Khilafah dan Kerajaan”. Cet. I, Bandung, Mizan, 1988.

Al-Banna, Hasan. Majmu’ah, Diterjemahkan oleh Su’adi Sa’adi dengan judul ”Konsep Pembaharuan Masyarakat Islam” Cet. I, Jakarta, Media Dakwah, 1987.

A. Hasjmy, Dimana Letaknya Negara Islam. Cet. I, Surabaya PT. Bina Ilmu, 1984.

BO. Dana Mbojo. (Catatan Lama Istana Bima), Bo Sangaji, BO. Bicarakai, BO. Melayu, BO. Bumi Luma. tt

BO (Suatu Himpunan Catatan Kuno Daerah Bima), Oleh proyek Pengembangan Permuseuman : Nusa Tenggara Barat, t.t.)

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi. Sejarah Nusa Tenggara Barat, Terbit 1977.

___________, Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1977/78.

___________, Sejarah Sekitar Kerajaan Dompu, Terbit : 1985, Dompu,.1985.

Departemen Agama RI. Al Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta, YPPA, 1990.

Djamaluddin, Acep. Drs. at. al. Album Seni Budaya Nusa Tenggara Barat, Proyek Media Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta : 1977.

M. Hilir, Ismail. Drs. Peranan Kesultanan Bima Dalam Perjalanan Nusantara, Terbit 1988, Bima. 1988.

Notosusanto, Nugroho, et. al. Sejarah Nasional Indonesia, Jilid : II dan III, Jakarta : 1975.

Nasution, S. Prof. Dr. MA. Metode Research. Edisi Ketiga, Bandung : Jenmars ; 1991..

Rais, M, Amin, Dr., Cakrawala Islam antara Cita dan Fakta, Cet. I, Bandung, Mizan, 1987.

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. VII, Jakarta, Balai Pustaka, 1984.