Senin, 08 Februari 2010

ANALISIS TENTANG PELAKSANAAN HAK-HAK TERSANGKA DALAM PROSES PERADILAN PIDANA (Studi Kasus Kabupaten Soppeng) [BAB II]

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Hak Asasi Manusia

Konsep hak-hak asasi manusia mempunyai dua pengertian dasar, pertama, merupakan hak-hak yang tidak dapat dipisahkan dan dicabut adalah hak manusia karena seorang manusia. Hak ini adalah hak-hak moral yang berasal dari kemanusiaan setiap insane dan hak-hak itu bertujuan untuk menjamin martabat setiap manusia. Kedua, hak menurut hukum yang dibuat sesuai proses pembentukan hukum dari masyarakat itu sendiri, baik secara nasional, maupun secara internasional.

Konsep kesadaran manusia terhadap hak asasi berasal dari keinsyafannya terhadap harga diri, harkat dan martabat kemanusiaannya. Karena itu, sesungguhnya hak-hak manusia itu sudah ada sejak manusia itu dikodratkan lahir didunia ini. Dengan demikian, hak-hak asasi manusia bukan merupakan hal yang baru. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya perjuangan rakyat Indonesia dengan berbagai macam pergerakannya untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan yang hakikatnya merupakan perjuangan untuk harkat dan martabat manusia yang lebih baik.

Menurut UU No.39 Tahun 1999 konsep HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setgiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat Negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 butir 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM)

Dalam undang-undang ini pengaturan mengenai HAM ditentukan dengan berpedoman pada deklarasi HAM PBB, konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, konvensi PBB tentang hak-hak anak dan berbagai instrument internasional lain yang mengatur tentang HAM. Materi undang-undang ini disesuaikan juga dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang berdasarkan pancasila, UUD 1945, dan TAP MPR-PI No XVII/MPR/1998.

Hak-hak yang tercantum dalam undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM terdiri dari
1.Hak untuk hidup. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, meningkatkan taraf kehidupannya, hidup tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin serta memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat.

2.Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan. Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah atas kehendak yang bebas

3.Hak mengembangkan diri. Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif untuk membangun masyarakat bangsa dan negaranya

4.Hak memperoleh keadilan. Setiap orang tanpa diskriminasi berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan adil dan benar.

5.Hak atas kebebasan pribadi. Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politik, mengeluarkan pendapat dimuka umum, memeluk agama masing-masing, tidak boleh diperbudak, memilih kewarganegaraan tanpa diskriminasi, bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia.

6.Hak atas rasa aman. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, hak milik, rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.

7.Hak atas kesejahteraan. Setiap orang berhak untuk mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, bangsa dan masyrakat dengan cara tidak melanggar hukum serta mendapatkan jaminan social yang dibutuhkan, berhak atas pekerjaan, kehidupan yang layak dan berhak mendirikan serikat pekerja demi melindingi dan memperjuangkan kehidupannya.

8.Hak turut serta dalam pemerintahan. Setiap warga Negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau perantara wakil yang dipilih secara bebas dan dapat diangkat kembali dalam setiap jabatan pemerintahan.

9.Hak wanita. Seorang wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkay\t dalam jabatan, profesi dan pendidikan sesuai dengan persyaratan dan peraturan perndang-undangan disamping itu berhak mendapat perlindungan khusu dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya.

10.Hak anak. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan Negara serta memperoleh pendidikan, pengajaran dalam rangka pengembangan diri dan tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum

2.2. Sistem Peradilan Pidana
Sistem peradilan pidana di Indonesia telah menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan.
Remington dan Ohlim (dalam Atmasasmita; 1982) mengemukakan; criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan praktek administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial.
Hagan (dalam Atmasasmita, 1996) membedakan pengertian antara “criminal justice process” adalah setiap tahap dari suatu putusang yang menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya kepada penentuan pidana baginya. Sedangkan “criminal justice system” adalah interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.

Sedangakan Mardjono (dalam atmasasmita, 1982), memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan sistem perdilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan masyarakat terpidana. Muladi memberikan penyebutab sinkronisasi yang mengandung makna keserupaan dan keselarasan. Sinkrinisasi dalam hal ini sesuai dengan makna dan ruang lingkup sistem yang dapat bersifat phisik dalam arti sikronisasi structural (structural synchronization), dapat pula bersifat substansial (substancial synchronization) dan cultural (cultural synchronization).

Dalam hal sinkronisasi structural, keserempakan dan keselarasan dituntut dalam mekanisme administrasi peradilan pidana (the administration of justice) dalam kerangka hubungan antara lembaga penegak hukum.

Pemahaman terhadap tiga kerangka sinkronisasi di atas sangat penting, mengingar apa yang dinamakan sistem peradilan pidana pada hakekatnya merupakan open system, mengingat besarnya pengaruh masyarakat dan bidang-bidang kehidupan manusia terhadap keberhasilan pencapaian tujuan.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai aturan hukum dalam melaksanakan proses perkara pidana pada sistem peradilan pidana di Indonesia. Proses tahap awal yaitu penyelidikan dan penyidikan sampai tahap akhir pelaksanaan putusan aturan mengenai tindakan dan kewenangan masing-masing subsistem dalam sistem peradilan pidana telah ditugaskan dalam KUHAP.

Proses dari awal hingga akhir perjuangan, secara yuridis dijamin dengan peraturan perundang-undangan. Individu diberikan hak untuk berjuang membuktikan ketidakbersalahannya. Proses membuktikan ketidakbersalahannya itu merujuk kepada suatu aturan perundang-undangan yang disebut criminal jutice system (sistem peradilan pidana).

Pada sistem peradilan pidana dibutuhkan kemandirian yang disebut dengan kemandirian yudisial. Sehubungan dengan kemandirian yudisial, J.E.Sahetapy (dalam Aswanto, 1999) antara lain menguraikan bahwa ada empat model kemandirian yudisial:
1.Crime control model;
2.Due process model;
3.Family model;
4.Pengayoman model;

Lebih lanjut J.E. Sahetapy (dalam Aswanto, 1999) menjelaskan bahwa menurut crime control model dan due process model diseimbangkan menjadi satu model yaitu Battle model, mencari keseimbangan kepentingan tersangka. Terdakwa maupun kepentingan penuntut umum.

Due process model penekanannya adalah perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia (manusiawi), mencegah jangan sampai terjadi penyalahgunaan wewenang. Proses peradilan dihambat dan apabila semakin terhambat, semakin dianggap baik dengan tujuan mencegah kesalahan. Pada family model ada nilai-nilai yang digunakan untuk membenarkan teorinya. J.E. sahetapy menguraikan bahwa kalau mengikuti
aliranabolisionisme bahwa the family model hamper sama dengan abolisionosme. Family model maupun abolisionisme sangat menghormati hak-hak asasi manusia.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 merupakan landasan bagi terselenggaranya proses peradilan pidana yang benar-benar bekerja dengan baik dan berwibawa serta benar-benar memberikan perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat tersagka, tertuduh, atau terdakwa sebagai manusia.

Dalam konteks inilha kita berbicara tentang mekanisme peradilan pidana sebagai suatu proses atau disebut “criminaljustice process”. Suatu system peradilan yang dimulai dari proses penangkapan, penggeledahan, penahanan, penuntutan dan pemeriksaan di muka siding pengadilan serta diakhiri dengan pelaksanaan pidana di Lembaga Pemasyarakatan.

Mardjono tidak memandang system peradilan pidana sebagai suatu kegagalan dan karenanya perlu ditiadakan melainkan sebagai suatu kenyataan yang tidak terpisahkan dari sejarah perkembangan hokum suatu bangsa yang tidak dapat dilepaskan dari masa penjajahan Belanda dan Jepang. Namun dalama pelaksanaan system peradilan pidana Indonesia hendaknya memperhatikan kenyataan bahwa angka statistika kriminal yang dapat diungkap terutama pada kepolisian bukan angka absolut sehingga angka statistic kriminal tersebut dijadikan suatu ukuran untuk memberikan penilaian mengenai keadaan kriminalitas di Indonesia yang sebenarnya.

Berolak dari kenyataan di atas, maka Mardjono (dalam Muladi, 1995) menyarankan agar perlu ada batas-batas toleransi pelaksanaan system peradilan pidana dalam melihat kejahatan dan penegakan hukum.

2.3. Hak-Hak Tersangka Menurut KUHAP
Pengaturan tentang perlindungan hak-hak asasi manusia (tersangka) di Indonesia secara yuridisa telah dijamin dan disusun/dimuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah HAM adalah KUHAP (Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Lembaga Negara Republiik Indonesia Tahun 1981 No. 78).

Dalam KUHAP banyak mengatur tentang hak-hak bagi tahanan yang disatukan dengan hak-hak bagi terdakwa, yakni mulai pasal 50 sampai 68 KUHAP.
Pada penjelasan dalam pasal 50 KUHAP dikemukakan bahwa

Diberikannya hak kepada tersangka adalah untuk menjauhkan kemungkinan terkantung-katungnya nasib seseorang yang disangka melakukan tindak pidana terutama mereka yang dikenakan penahanan, jangan sampai lama tidak mendapat pemeriksaan sehingga dirasakan tidak adanya kepastian hukum, adanya perlakuan sewenang-wenang dan tidak wajar.

Adapun hak-hak tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan menurut KUHAP adalah sebagai berikut:
1.Hak untuk menerima surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakik, pasal 21 ayat (2);

2.Hak untuk menerima tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim, pasal 21 ayat (3). Tembusan yang dimaksud harus diberikan kepada keluarga tersangka atau terdakwa;

3.Hak mengajukan keberatan terhadap perpanjangan penahanan. Hak ini diatur dalam pasak 29 ayat (7);

4.Hak meminta kerugian. Hak tersangka atau terdakwa ini diatur pada pasal 30 yaitu apabila tenggang waktu penahanan sebagaimana tersebut pada pasal 24, 25, 26, 27 atau perpanjangan penahanan sebagaimana tesebut pada pasal 28 atau perpanjangan penahanan sebagaimana tersebut dalam pasal 28 ternyata tidak sah, tersangka atau terdakwa berhak meminta ganti kerugian sesuai dengan ketentuan yang dimaksud dalam pasal 95 dan 96;

5.Hak segera mendapatkan pemeriksaan penyidik, Pasal 50 ayat (1) jo pasal122;

6.Hak agar perkaranya segera dimajukan ke pengadilan dan diadili. Pasal 50 ayat (2 dan 3);

7.Hak meminta penjelasan apa yang disangkakan, hal ini diatur pada pasal 51 huruf a, yaitu untuk mempersiapkan pembelaan tersangka berhak diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai;

8.Hak member keterangan secara bebas, dijamin dalam ketentuan pasal 52 dan pasal 117 ayat (1), keterangan tersangka atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun;

9.Hak untuk mendapatkan bantuan hukum sebagaimana yang diatur pada pasal 54;

10.Hak menghubungi dan menerimaa kunjungan dokter pribadi, pasal 58;

11.Hak tersangka untuk diberitahukan kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka atau terdakwa ataupun orang lain yang bantuannya dibutuhkan termasuk untuk mendapatkan bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhan penahanannya, pasal 59;

12.Hak untuk menghubungi atau menerima kunjungan sanak keluarga atau yang mempunyaihubungan kekeluargaan, baik langsung atau diwakili penasehay hukumnya, pasal 60 dan 61

13.Hak untuk menerima atau ,engirim surat kepada penasehat hukum atau sanak keluarganya, pasal 62 ayat (1)

14.Hak menghubungi atau menerima kunjungak rohaniawan, pasal 63;

15.Hak untuk meminta turunan beriata acara pemeriksaan, pasal 72;

16.Hak untuk pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, pasal 97 dan 124;

17.Hak untuk mengajukan keberatan atas penahanan atau jenis penahanan, pasal 123 ayat (1).

Berdasarkan pemaparan tersebut sebagaimana diatur dalam KUHAP mulai pasal 50 sampai pasal 68 KUHAP menunjukkan bahwa tersangka ataupun terdakwa bukan semata-mata objek pemeriksaan, tersangka berhak memberikan keterangan secara bebas dan bebas dari tekanan baik fisik maupun psikis. Lebih penting lagi adalah hak tersangka untuk memperoleh bantuan hukum dan penasehat hukum, dan dapat mengadakan komunikasi dengan penasehat hukum yang ditunjuk. Penasehat hukumnya berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang.

Asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) yang juga dianut dalam penegakan hukum di Indonesia menjadi dasar bahwa setiap tersangka atau terdakwa masih berstatus sebagai orang merdeka, dengan demikian pemahaman atas dirinya bukan sebagai perampasan kemerdekaan melainkan semata-mata demi kepentingan dan kelancaran pemeriksaan.

Sesungguhnya penyidik yang memperoleh keterangan dengan paksaan dapat diancam pidana pada pasal 422 KUHAP yang menyatakan bahwa: pegawai negeri yang dalam perkara pidana mempergunakan paksaan, baik untuk memaksa sengaja mengakui maupun untuk memancing orang sengaja memberikan keterangan duhukum penjara selamanya 4 tahun.
Dalam Undang-undang Asasi Manusia No. 39 Tahun 1999 pada pasal 18 butir 1 sampai 5 mengatakan bahwa:
1.Setiap orang ditangkap, ditahan dan dituntut karena tersangka melakukan suatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2.Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana kecuali berdasarkan suatu aturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukannya;
3.Setiap ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan maka berlaku ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka;
4.Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
5.Stiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatn hukum tetap.
Secara ideal hak-hak para tahanan cukup dijamin dalam perundang-undangan ketentuan tersebut didasarkan pada asas praduga tak bersalah sehingga diharapkan pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM dapat dicegah serta penangkapan yang sewenang-wenang dapat dihindari. Harus pula dipahami bahwa secara psikologis bahwa orang yang ditahan merasa tertekan, dengan demikian penahanan harus betul-betul sesuai dengan unang-undang yang berlaku serta hendaknya dilakukan yang tepat.

Dalam Undang-undang RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian Negara RI. Dikemukakan bahwa hubungan polisi dengan orang yang ditahan:

1.Petugas penegak hukum tidak boleh menggunakan kekerasan kecuali hanya bila sangat diperlukan untuk memelihara keamanan dan ketertiban ditempat penahanan, atau bila keselamatan pribadinya terancam
2.Petugas penegak hukum tidak boleh menggunakan senjata apai kecuali untuk membela diri atau ,membela orang lain terhadap ancaman mati atau luka berat yang terjadi.

2.4. Konsekuensi Hukum Terhadap Pengabaian Hak-Hak Tersangka
Keinginan untuk mewujudkan suatu metode penyidikan ilmiah (scientific investigation method) sering kali mengalami beberapa hambatan yang dianggap problematik. Salah satunya adalah sering ditemukannya tindakan menyimpang dari pejabat penyidik dalam proses penyidikan, antara lain tindakan penyiksaan yang bertujuan untuk memperoleh pengakuan dari tersangka. Tidak jarang akibat tindakan penyiksaan ini membawa dampak kejiwaan pada tersangka, baik perlakuan yang mengakibatkan luka-luka serius bahkan sampai mati.

Usaha untuk memperoleh pengakuan dengan cara penyiksaan itu kadang kala dianggap telah membudaya demi efisiensi dan efektifitas pengungkapan suatu perkara pidana. Lebih ekstrim lagi ternyata pengakuan tersangka sekadar untuk menunjukkan orientasi subjektivitas. Prestasi kerja yang relatif cepat dalam pengungkapan suatu kasus pidana walaupun akhirnya penyiksaan menjadi isu primer dan sumber protes pihak lainnya.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sama sekali tidak memuat akibat hukum terhadap bukti-bukti yang diperoleh secara tidak sah, seperti halnya penyidikan yang dilakukan dengan peniyiksaan tersebut. Selain itu tidak ditentukan mengenai institusi independen manakah yang berwenang untuk menentukan ketidakabsahan perolehan bukti misalnya: pengakuan tersangka yang didasarkan suatu penyiksaan secara tidak saha,tidak ada penempatannya dalam KUHAP

Berkaitan dengan kekosongan hukum (acara) hal ini justru lebih membawa peran Mahkamah Agung (MA) menempuh jalur rechtsvinding terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak ditemukan aturannya dalam KUHAP tentunya dengan mengingat pula asas proporsionalitas maupun subsidiaritas. Sebenarnya peran rechtsvinding melalui rule making power-nya pernah terjadi apabila kita menengok dan ingat akan peran MA melalui Perma No. 1 Tahun 1980 untuk menghidupkan acara peninjauan kembali dalam hukum pidana formal Indonesia (herziening) yang sebelumnya tidak dikenal pengaturannya dalam hukum positif kita.

Peran Mahkamah Agung menerapkan ekstensif interpretasi dipandang perlu untuk menentukan institusi independen yang berwenang memutuskan keabsahan tidaknya perolehan suatu bukti termasuk pengakuan tersangka yang diperoleh dengan penyiksaan. Selama ini kita mengetahui keberadaan lembaga praperadilan melalui pasal 77 KUHAP terbatas oada memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan berikut tuntutan ganti rugi atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyelidikan dan penuntutan.

Dengan melihat ketatnya dinamisasi hukum pidana formal itu, tentunya sifat limitatif dari kewenangan lembaga praperadilan perlu ditinjau kembali efektifitasnya khususnya dalam menghadapi problema perolehan-perolehan bukti secara tidak sah seperti penyiksaan ini. Artinya tinjauan ini bukanlah dimaksudkan dengan mencari suatu kewenangan yang eksesif dan ekstensif melainkan sekadar mengaktifkan lembaga praperadilan sebagai institusi independen yang tujuan tugas mempercepat prosedur pemutusan segala sesuatu yang berkaitan dengan illegally secured evidence tersebut termasuk penyidikan yang diperoleh dengan penyiksaan oleh penyidik

ANALISIS TENTANG PELAKSANAAN HAK-HAK TERSANGKA DALAM PROSES PERADILAN PIDANA (Studi Kasus Kabupaten Soppeng) [BAB I]

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang menjadi pokok permasalahan adalah manusia sebagai rakyat dari negara. Negara hanyalah sebagai alat bagi manusia untuk mencapai suatu tujuan. Demikian halnya dengan keberadaan konstitusi suatu negara, dibuat dan diperuntukkan bagi kemaslahatan penduduk negara. Oleh karenanya, manusia dengan segenap hak asasi yang dimilikinya haruslah mendapat perhatian dan jaminan perlindungan dari negara. Eksistensi negara dalam hal ini adalah sebagai lembaga yang bertuga untuk mengakomodasi kepentingan rakyatnya.

Konsekuensi suatu negara seperti Negara Republik Indonesia harus mencerminkan seluruh tatanan pemerintahannya berdasarkan hukum yang berlaku. Untuk itu, jaminan secara khusus mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) baik secara eksplisit maupun inplisit, telah tertuang dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta berbagai produk peraturan Perundang-undangan lainnya.

Mengenai pengertian HAM, Ranadiraksa (2000) memberikan defenisi bahwa hakikatnya HAM adalah seperangkat ketentuan atau aturan untuk melindungi warga negara dari kemungkinan penindasan, pemasungan dan atau pembatasan ruang gerak warga negara. Artinya, ada pembatasan-pembatasan tertentu yang diberlakukan pada warga negara agar hak warga negara yang paling hakiki terlindungi dari kesewenang-wenangan kekuasaan.
Menurut Mahfud M.D. (dalam Muladi, 1995 : 21) “hak asasi manusia itu diartikan sebagai hak yang melekat pada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, dan hak tersebut bersifat fitri (kodrat).” Dari dua pendapat tersebut diatas penulis menrik kesimpulan bahwa HAM adalah hak dasar yang melekat pada setiap individu sejak lahir ke muka bumi dan bukan merupakan pemberian manusia atau negara yang wajib dilindungi oleh negara.

Todung Mulya Lubis (dalam Aswanto, 1999 : 45) menyatakan bahwa dalam kurun waktu kemerdekaan setidaknya ada tiga priode sejarah dimana terjadi perdebatan intens mengenai HAM (human rights discourse), yaitu pada tahun 1945, tahun-tahun Konstituante Khusus, tahun 1957-1959 dan di awal bangkitnya Orde Baru tahun 1966-1986. Selanjutnya pada masa kabinet reformasi pembangunan, telah terjadi berbagai kasus diantaranya semanggi I tanggal 13 November 1998, Semanggi II tanggal 22 September 1999. Sejak pergantian Orde Baru dan Kabinet Reformasi sampai dengan kabinet Gotong Royong, telah banyak menetapkan peraturan perundang-undangan yang berprespektif HAM dan stratifikasi HAM sebagai bukti konkrit upaya penghargaan terhadap perjuangan hak asasi manusia.

Sehubungan dengan uraian di atas, meskipun pada prinsipnya berbagai ketentuan pokok telah dibuat dan diterapkan dengan tujuan untuk menghormati tegaknya jaminan HAM di berbagai belahan dunia temasuk di negara Republk Indonesia tercinta ini. Namun kenyataan menunjukkan bahwa sampai saat sekarang ini, belum sepenuhnya mampu memberikan jaminan yang memuaskan bagi kemaslahatan umat manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal tersebut tampak secara jelas dalam berbagai bentuk dan jenis penindasan oleh individu dan atau sekelompok orang yang dikarenakan kekuasaan dan kepentingan yang dimilikinya untuk menindas kaum yang lemah.

Sekaitan dengan fokus penelitian yang menitikberatkan pada jaminan perlindungan hak asasi terhadap tersangka dalam proses penyidikan khususnya dalam lingkup kepolisian RI Polres Soppeng, pada kenyataannya seorang dalam kedudukannya sebagai tersangka menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku diberi hak dan jaminan perlindungan secara hukum. Namun dalam prakteknya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pihak aparat petugas (penyidik kepolisian) dalam menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangan yang diberikan oleh negara terkesan kurang memperdulikan batas-batas kewenangan, dalam hal ini hak-hak tersangka menjadi terabaikan dan terkadang disertrai dengan penggunaan kekerasan (arogan) selama menjalankan tugas penyidikan.

Para tersangka kadang mendapat pemaksaan untuk mengakui suatu perbuatan didepan penyidik. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pemeriksaan. Penyiksaan terhadap tersangka terjadi terutama terhadap tahanan yang tidak memiliki pensehat hukum. Seorang tahanan terpaksa harus mengakui suatu perbuatan karena tidak tahan dengan pemaksaan dalam bentuk kekerasan yang dilakukan polisi.

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga diatur tentang wewenang penyidikan yang menetapkan polisi sebagai penyidik tunggal untuk perkara yang dikategorikan sebagai tindak pidana umum. Hal ini dapat disimak dalam pasal 6 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (maupun pejabat Pegawai negeri Sipil tetentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang). Oleh karena itu sejak berlakunya KUHAP maka kewenangan polisi sebagai penyidik tunggal mulai berlaku, meskipun masih terdapat pengecualian (Pasal 284 KUHAP).

Fenomena pemaksaan dalam bentuk kekerasan yang dilakukan oleh seorang penyidik pada saat pemeriksaan kadang terkuak pada saat persidangan di pengadilan. Dalam beberapa peristiwa terkadang para tersangka harus mengakui suatu perbuatan yang tidak dilakukannya karena mendapat tindak kekerasan dari penyidik apabila tidak mau mengakui suatu perbuatan yang dituduhkan.

Dalam konteks hukum pidana Indonesia dikenal adanya asas praduga tak bersalah (Presumtion of Innocence) serta asas persamaan kedudukan dalam hukum pidana nasional baik secara materil maupun formil. Dalam konteks hukum pidana materiil permasalahan berkisar pada tiga hal pokok yakni ; perumusan perbuatan yang dilarang (kriminalisasi), pertanggung jawaban pidana (kesalahan) dan sanksi yang diancamkan. Sedangkan konteks hukum pidana formil atau acara pidana, pengaturan dan penerapan asas praduga tidak bersalah dan asas persamaan dalam hukum bermanfaat untuk menciptakan harmonisasi dan pelaksanaan yang tegas.

Eksistensi asas praduga tak bersalah, secara khusus menghendaki bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili didepan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan tersangka berhak memperoleh hak-haknya sebagaimana yang telah ditentukan antara lain dalam pasal 24, 25, 26, 27, 28, 32, 38, pasal 50 ayat (1, 2, 3) pasal 51, 52, 53, 54, 55, 56 ayat (1, 2) pasal 57, 58, 59, 60, 61, 62, 64, 65, 72 KUHAP.

Sejalan dengan penegasan pasal di atas, Subekti (dalam Muladi, 1995) menyatakan bahwa hak-hak asasi yang dijamin oleh KUHAP terutama berkisar pada kebebasan atau kemerdekaan hak atas kehormatan dan nama baik serta atas rahasia pribadi. Perlindungan terhadap hak asasi tersebut berkenaan dengan penyelidikan atau penyedikan dan penahanan/penggeledahan.

Tanpa mengabaikan aspek lain yang turut mempengaruhi kondisi penegakan HAM khususnya pada tahap pra ajukasi (tahap penyidikan), pengetahuan dan pemahaman individu terhadap hukum mempunyai relevansi yang kuat dalam kehidupan sehari-hari. Betapa tidak, seorang anggota masyarakat yang awam hukum mempunyai kecenderungan untuk dilecehkan hak asasinya dalam tahapan tersebut seperti menakut-nakuti tersangka dengan berbagai macam ancaman, dijemur ditengah teriknya matahari, dimasukkan dalam kamar gelap, sampai dengan penyiksaan yang sadis dengan mencabut kuku jari tangan dan kaki. Tindakan-tindakan seperti ini pada dasarnya dilakukan guna mendapatkan jawaban/pengakuan yang dipaksakan agar penanganan kasus oleh penyidik dapat dilanjutkan kepada penuntut umum. Dengan demikian, oknum penyidik yang melakukann skenario sebagai pelaksana tugas penyidikan dianggap tidak gagal alias berhasil dalam menjalanka tugasnya. Pelanggaran terhadap hak-hak tersangka seperti penangkapan dan penahanan seseorang tanpa disertai dengan surat penangkapan, fenomena penyiksaan atau pemukulan, pemaksaan menandatangani suatu berkas perkara tanpa member kesempatan kepada tersangka untuk terlebih dahulu membacanya secara seksama merupakan suatu tindakan yang melanggar hak-hak tersangka.

Menelaah kondisi sebagaimana dijabarkan dalam uraian di atas, menimbulkan interprestasi bahwa pada dasarnya pelaksanaan hak-hak tersangka pada tahap penyidikan belum sepenuhnya mendapat jaminan dari pihak penyidik. Untuk meminimalisasi terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak tersangka, maka perlu kiranya dilakukan upaya-upaya pencegahan.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dilakukan penelitian pada lingkup Polres Soppeng yang memiliki tugas dan wewenang dalam hal penyelidikan, penangkapan, penahanan, dan penyelidikan.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.Bagaimanakah pelaksanaan hak-hak tersangka dalam proses pemeriksaan oleh penyidik di Kantor Kepolisian Polres Soppeng?
2.Fakto-faktor apakah yang mempengaruhi hak-hak ersangka dalam proses penyidikan di Kabupaten Soppeng.


1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian adalah:
1.Untuk mengetahui pelaksanaan hak-hak tersangka dalam proses pemeriksaan oleh penyidik di Kantor Kepolisian Polres Soppeng.
2.Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi hak-hak tersangka dalam proses penyidikan di Kabupaten Soppeng..

1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini, diharapkan dapat memiliki daya manfaat terutama
1.Sebagai bahan masukan sekaligus sebagai bahan pertimbangan khususnya bagi pihak aparat Kepolisian RI Polres Soppeng dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya berdasarkan pada ketentuan-ketentuan yang berlaku secara nasional;
2.Sebagai bahan informasi ilmiah dalam rangka memperkaya cakrawala pemikiran bersama terutama di kalangan para akademisi maupun praktisi;
3.Hasil penelitian ini dapat pula dijadikan sebagai bahan acuan bagi pengembangan aktifitas ilmiah terutama dalam rangka pelaksanaan penelitian lanjutan.

1.5. Metode Penelitian

a.Jenis dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yaitu menggambarkan substansi fakta yuridis dengan kualitas peristiwa hukum yang terjadi kemudian dikaji dengan hasil penelitian kualitatif melalui data dokumentasi dan wawancara kepada orang/informasi berdasarkan persepektif ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Penelitian ini di laksanakan di Kabupaten Soppeng dengan fokus penelitian pada penanganan kasus-kasus pidana.

b.Jenis dan Sumber Data
Jenis penelitian ini merupakan penelitian hukum kualitatif. Penelitian hukum kualitatif pada umumnya hanya menilai gejala atau fakta yurudis yang tidak menggunakan angka. Disamping itu dalam penelitian hokum kualitatif bukanlah berapa jumlahnya peristiwa hokum yang terjadi itu. Jadi yang menjadi fokus perhatiannya bukan banyaknya pelanggaran hukum yang terjadi melainkan bagaimana terjadinya pelanggaran hukum.

Adapun jenis data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data prmer diperoleh melalui wawancara baik tersangka mauipun aparat hukum kepolisian RI Polres Soppeng, sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil pengamatan dokumen yang ada kaitannbya dengan penelitian ini.

c.Teknik Pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara
1.Wawancara, yaitu melakukan wawancara mendalam pada para tersangka dan aparat penyidik untuk memperoleh perbandingan antara pelaksanaan ketentuan hukum dan fakta yang sebenarnya
2.Pedoman wawancara tertulis
3.Dokumentasi, yaitu pengumpulan data untuk melengkapi
1.Penganiayaan : 1 Orang
2.Pencurian : 1 Orang
3.Pemerkosaan : 1 Orang
4.Narkoba : 1 Orang
5.Senjata tajam : 1 Orang

Anggota polisi sebanyak 4 orang terdiri dari jenis kejahatan
1.Penganiayaan
2.Pencurian
3.Pemerkosaan
4.Narkoba

d.Analisis Data
Data yang diperoleh dari berbagai sumber data penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif kemudian mendeskripsikan secara mendalam tentang: (1) kecenderungan pelaksanaan hak-hak tersangka selama proses pemeriksaan penyidik di kantor kepo0lisian Soppeng, dan (2) upaya-upaya yang ditempuh oleh pihak kepollisian RI dalam jajaran Polres Soppeng dalam mendalami kendala yang ada