Senin, 08 Februari 2010

ANALISIS TENTANG PELAKSANAAN HAK-HAK TERSANGKA DALAM PROSES PERADILAN PIDANA (Studi Kasus Kabupaten Soppeng) [BAB I]

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang menjadi pokok permasalahan adalah manusia sebagai rakyat dari negara. Negara hanyalah sebagai alat bagi manusia untuk mencapai suatu tujuan. Demikian halnya dengan keberadaan konstitusi suatu negara, dibuat dan diperuntukkan bagi kemaslahatan penduduk negara. Oleh karenanya, manusia dengan segenap hak asasi yang dimilikinya haruslah mendapat perhatian dan jaminan perlindungan dari negara. Eksistensi negara dalam hal ini adalah sebagai lembaga yang bertuga untuk mengakomodasi kepentingan rakyatnya.

Konsekuensi suatu negara seperti Negara Republik Indonesia harus mencerminkan seluruh tatanan pemerintahannya berdasarkan hukum yang berlaku. Untuk itu, jaminan secara khusus mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) baik secara eksplisit maupun inplisit, telah tertuang dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta berbagai produk peraturan Perundang-undangan lainnya.

Mengenai pengertian HAM, Ranadiraksa (2000) memberikan defenisi bahwa hakikatnya HAM adalah seperangkat ketentuan atau aturan untuk melindungi warga negara dari kemungkinan penindasan, pemasungan dan atau pembatasan ruang gerak warga negara. Artinya, ada pembatasan-pembatasan tertentu yang diberlakukan pada warga negara agar hak warga negara yang paling hakiki terlindungi dari kesewenang-wenangan kekuasaan.
Menurut Mahfud M.D. (dalam Muladi, 1995 : 21) “hak asasi manusia itu diartikan sebagai hak yang melekat pada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, dan hak tersebut bersifat fitri (kodrat).” Dari dua pendapat tersebut diatas penulis menrik kesimpulan bahwa HAM adalah hak dasar yang melekat pada setiap individu sejak lahir ke muka bumi dan bukan merupakan pemberian manusia atau negara yang wajib dilindungi oleh negara.

Todung Mulya Lubis (dalam Aswanto, 1999 : 45) menyatakan bahwa dalam kurun waktu kemerdekaan setidaknya ada tiga priode sejarah dimana terjadi perdebatan intens mengenai HAM (human rights discourse), yaitu pada tahun 1945, tahun-tahun Konstituante Khusus, tahun 1957-1959 dan di awal bangkitnya Orde Baru tahun 1966-1986. Selanjutnya pada masa kabinet reformasi pembangunan, telah terjadi berbagai kasus diantaranya semanggi I tanggal 13 November 1998, Semanggi II tanggal 22 September 1999. Sejak pergantian Orde Baru dan Kabinet Reformasi sampai dengan kabinet Gotong Royong, telah banyak menetapkan peraturan perundang-undangan yang berprespektif HAM dan stratifikasi HAM sebagai bukti konkrit upaya penghargaan terhadap perjuangan hak asasi manusia.

Sehubungan dengan uraian di atas, meskipun pada prinsipnya berbagai ketentuan pokok telah dibuat dan diterapkan dengan tujuan untuk menghormati tegaknya jaminan HAM di berbagai belahan dunia temasuk di negara Republk Indonesia tercinta ini. Namun kenyataan menunjukkan bahwa sampai saat sekarang ini, belum sepenuhnya mampu memberikan jaminan yang memuaskan bagi kemaslahatan umat manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal tersebut tampak secara jelas dalam berbagai bentuk dan jenis penindasan oleh individu dan atau sekelompok orang yang dikarenakan kekuasaan dan kepentingan yang dimilikinya untuk menindas kaum yang lemah.

Sekaitan dengan fokus penelitian yang menitikberatkan pada jaminan perlindungan hak asasi terhadap tersangka dalam proses penyidikan khususnya dalam lingkup kepolisian RI Polres Soppeng, pada kenyataannya seorang dalam kedudukannya sebagai tersangka menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku diberi hak dan jaminan perlindungan secara hukum. Namun dalam prakteknya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pihak aparat petugas (penyidik kepolisian) dalam menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangan yang diberikan oleh negara terkesan kurang memperdulikan batas-batas kewenangan, dalam hal ini hak-hak tersangka menjadi terabaikan dan terkadang disertrai dengan penggunaan kekerasan (arogan) selama menjalankan tugas penyidikan.

Para tersangka kadang mendapat pemaksaan untuk mengakui suatu perbuatan didepan penyidik. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pemeriksaan. Penyiksaan terhadap tersangka terjadi terutama terhadap tahanan yang tidak memiliki pensehat hukum. Seorang tahanan terpaksa harus mengakui suatu perbuatan karena tidak tahan dengan pemaksaan dalam bentuk kekerasan yang dilakukan polisi.

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga diatur tentang wewenang penyidikan yang menetapkan polisi sebagai penyidik tunggal untuk perkara yang dikategorikan sebagai tindak pidana umum. Hal ini dapat disimak dalam pasal 6 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (maupun pejabat Pegawai negeri Sipil tetentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang). Oleh karena itu sejak berlakunya KUHAP maka kewenangan polisi sebagai penyidik tunggal mulai berlaku, meskipun masih terdapat pengecualian (Pasal 284 KUHAP).

Fenomena pemaksaan dalam bentuk kekerasan yang dilakukan oleh seorang penyidik pada saat pemeriksaan kadang terkuak pada saat persidangan di pengadilan. Dalam beberapa peristiwa terkadang para tersangka harus mengakui suatu perbuatan yang tidak dilakukannya karena mendapat tindak kekerasan dari penyidik apabila tidak mau mengakui suatu perbuatan yang dituduhkan.

Dalam konteks hukum pidana Indonesia dikenal adanya asas praduga tak bersalah (Presumtion of Innocence) serta asas persamaan kedudukan dalam hukum pidana nasional baik secara materil maupun formil. Dalam konteks hukum pidana materiil permasalahan berkisar pada tiga hal pokok yakni ; perumusan perbuatan yang dilarang (kriminalisasi), pertanggung jawaban pidana (kesalahan) dan sanksi yang diancamkan. Sedangkan konteks hukum pidana formil atau acara pidana, pengaturan dan penerapan asas praduga tidak bersalah dan asas persamaan dalam hukum bermanfaat untuk menciptakan harmonisasi dan pelaksanaan yang tegas.

Eksistensi asas praduga tak bersalah, secara khusus menghendaki bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili didepan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan tersangka berhak memperoleh hak-haknya sebagaimana yang telah ditentukan antara lain dalam pasal 24, 25, 26, 27, 28, 32, 38, pasal 50 ayat (1, 2, 3) pasal 51, 52, 53, 54, 55, 56 ayat (1, 2) pasal 57, 58, 59, 60, 61, 62, 64, 65, 72 KUHAP.

Sejalan dengan penegasan pasal di atas, Subekti (dalam Muladi, 1995) menyatakan bahwa hak-hak asasi yang dijamin oleh KUHAP terutama berkisar pada kebebasan atau kemerdekaan hak atas kehormatan dan nama baik serta atas rahasia pribadi. Perlindungan terhadap hak asasi tersebut berkenaan dengan penyelidikan atau penyedikan dan penahanan/penggeledahan.

Tanpa mengabaikan aspek lain yang turut mempengaruhi kondisi penegakan HAM khususnya pada tahap pra ajukasi (tahap penyidikan), pengetahuan dan pemahaman individu terhadap hukum mempunyai relevansi yang kuat dalam kehidupan sehari-hari. Betapa tidak, seorang anggota masyarakat yang awam hukum mempunyai kecenderungan untuk dilecehkan hak asasinya dalam tahapan tersebut seperti menakut-nakuti tersangka dengan berbagai macam ancaman, dijemur ditengah teriknya matahari, dimasukkan dalam kamar gelap, sampai dengan penyiksaan yang sadis dengan mencabut kuku jari tangan dan kaki. Tindakan-tindakan seperti ini pada dasarnya dilakukan guna mendapatkan jawaban/pengakuan yang dipaksakan agar penanganan kasus oleh penyidik dapat dilanjutkan kepada penuntut umum. Dengan demikian, oknum penyidik yang melakukann skenario sebagai pelaksana tugas penyidikan dianggap tidak gagal alias berhasil dalam menjalanka tugasnya. Pelanggaran terhadap hak-hak tersangka seperti penangkapan dan penahanan seseorang tanpa disertai dengan surat penangkapan, fenomena penyiksaan atau pemukulan, pemaksaan menandatangani suatu berkas perkara tanpa member kesempatan kepada tersangka untuk terlebih dahulu membacanya secara seksama merupakan suatu tindakan yang melanggar hak-hak tersangka.

Menelaah kondisi sebagaimana dijabarkan dalam uraian di atas, menimbulkan interprestasi bahwa pada dasarnya pelaksanaan hak-hak tersangka pada tahap penyidikan belum sepenuhnya mendapat jaminan dari pihak penyidik. Untuk meminimalisasi terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak tersangka, maka perlu kiranya dilakukan upaya-upaya pencegahan.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dilakukan penelitian pada lingkup Polres Soppeng yang memiliki tugas dan wewenang dalam hal penyelidikan, penangkapan, penahanan, dan penyelidikan.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.Bagaimanakah pelaksanaan hak-hak tersangka dalam proses pemeriksaan oleh penyidik di Kantor Kepolisian Polres Soppeng?
2.Fakto-faktor apakah yang mempengaruhi hak-hak ersangka dalam proses penyidikan di Kabupaten Soppeng.


1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian adalah:
1.Untuk mengetahui pelaksanaan hak-hak tersangka dalam proses pemeriksaan oleh penyidik di Kantor Kepolisian Polres Soppeng.
2.Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi hak-hak tersangka dalam proses penyidikan di Kabupaten Soppeng..

1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini, diharapkan dapat memiliki daya manfaat terutama
1.Sebagai bahan masukan sekaligus sebagai bahan pertimbangan khususnya bagi pihak aparat Kepolisian RI Polres Soppeng dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya berdasarkan pada ketentuan-ketentuan yang berlaku secara nasional;
2.Sebagai bahan informasi ilmiah dalam rangka memperkaya cakrawala pemikiran bersama terutama di kalangan para akademisi maupun praktisi;
3.Hasil penelitian ini dapat pula dijadikan sebagai bahan acuan bagi pengembangan aktifitas ilmiah terutama dalam rangka pelaksanaan penelitian lanjutan.

1.5. Metode Penelitian

a.Jenis dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yaitu menggambarkan substansi fakta yuridis dengan kualitas peristiwa hukum yang terjadi kemudian dikaji dengan hasil penelitian kualitatif melalui data dokumentasi dan wawancara kepada orang/informasi berdasarkan persepektif ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Penelitian ini di laksanakan di Kabupaten Soppeng dengan fokus penelitian pada penanganan kasus-kasus pidana.

b.Jenis dan Sumber Data
Jenis penelitian ini merupakan penelitian hukum kualitatif. Penelitian hukum kualitatif pada umumnya hanya menilai gejala atau fakta yurudis yang tidak menggunakan angka. Disamping itu dalam penelitian hokum kualitatif bukanlah berapa jumlahnya peristiwa hokum yang terjadi itu. Jadi yang menjadi fokus perhatiannya bukan banyaknya pelanggaran hukum yang terjadi melainkan bagaimana terjadinya pelanggaran hukum.

Adapun jenis data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data prmer diperoleh melalui wawancara baik tersangka mauipun aparat hukum kepolisian RI Polres Soppeng, sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil pengamatan dokumen yang ada kaitannbya dengan penelitian ini.

c.Teknik Pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara
1.Wawancara, yaitu melakukan wawancara mendalam pada para tersangka dan aparat penyidik untuk memperoleh perbandingan antara pelaksanaan ketentuan hukum dan fakta yang sebenarnya
2.Pedoman wawancara tertulis
3.Dokumentasi, yaitu pengumpulan data untuk melengkapi
1.Penganiayaan : 1 Orang
2.Pencurian : 1 Orang
3.Pemerkosaan : 1 Orang
4.Narkoba : 1 Orang
5.Senjata tajam : 1 Orang

Anggota polisi sebanyak 4 orang terdiri dari jenis kejahatan
1.Penganiayaan
2.Pencurian
3.Pemerkosaan
4.Narkoba

d.Analisis Data
Data yang diperoleh dari berbagai sumber data penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif kemudian mendeskripsikan secara mendalam tentang: (1) kecenderungan pelaksanaan hak-hak tersangka selama proses pemeriksaan penyidik di kantor kepo0lisian Soppeng, dan (2) upaya-upaya yang ditempuh oleh pihak kepollisian RI dalam jajaran Polres Soppeng dalam mendalami kendala yang ada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar